BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak
lama, seluruh bangsa Indonesia selalu diingatkan agar selalu hidup berdampingan
secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku bangsa, agama, ras dan anatar
golongan. Kita diseru untuk mengerti, menghayati, dan melaksanakan kehidupan
bersama demi tercapainya persatuan dan kesatuan sebagaimana semboyan Bhinneka
Tunggal Ika. Artinya kita selalu diingatkan untuk menghargai dan menghayati
perbedaan SARA sebagai unsur utama yang mempersatukan bangsa ini dan bukan menjadi
alasan terjadinya konflik.
Kesadaran
akan pentingnya kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya nasionalisme
negara, yang dikritik karena dianggap terlalu menekankan kesatuan daripada
keragaman. Kemajemukan dalm banyak hal suku, agama, ras dan golongan seharusnya
menjadi hasanah dan modal untuk memmbangun. Maka ketika konfilik bergejolak di
daerah, negara seakan-akan menutupi realitas kemajemukan itu atas nama
“kesatuan bangsa” atau “stabilisasi nasional”. Konflik sosial yang sering
muncul sebagai akibat pengingkaran terhadap kenyataan kemajemukan dan penyebab
adanya konflik sosial.
Bertolak
dari kenyataan ini, kita dirasakan semakin perlunya kebijakan multikultural
yang memihak keragaman. Dari kebijakan itu nantinya diharapkan masyarakat dapat
mengelola perbedaan yang ada disekitar dengan positif. Dengan demikian,
perbedaan dalam beragam area kehidupan tidak memicu prasangka atau konflik,
tetapi sebaliknya mendorong dinamika ke arah yang lebih baik.
Penerapan
pendidikan multikultural di Indonesia masih mengalami berbagai hambatan atau
problem. Problem pendidikan multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang
tidak sama dengan problem yang dihadapi oleh negara lain. Keunikan
faktor-faktor geografis, demografi, sejarah dan kemajuan sosial ekonomi dapat
menjadi pemicu munculnya problem pendidikan multikultural di Indonesia. Problem
pendidikan multikultural di Indonesia secara garis besar dapat dipetakan
menjadi dua hal, yaitu : problem kemasyarakatan pendidikan multikultural dan
problem pembelajaran pendidikan multikultural.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa
saja permasalahan awal dalam pembelajaran berbasisis budaya?
1.2.2
Apa saja
Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia?
1.3 Tujuan Masalah
1.3.1
Untuk
mendefinisi permasalahan awal dalam pembelajaran berbasisis budaya.
1.3.2
Untuk
mengklarifikasi Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1
Permasalahan
Awal dalam Pembelajaran Berbasisis Budaya
Pendidikan
multikultural yang akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan ternyata tidak
terlepas dari berbagai problem yang menghambatnya. Selain problem
kemasyarakatan, pendidikan multikultural juga tidak lepas dari problem dalam
proses pembelajarannya. Dalam kerangka strategi pembelajaran, pembelajaran
berbasis budaya dapat mendorong terjadinya proses imajinatif, metaforik, berpikir
kreatif, dan sadar budaya. Namun demikian, penggunaan budaya lokal (etnis)
dalam pembelajaran berbasis budaya tidak terlepas dari berbagai permasalahan
yang terdapat dalam setiap komponen pembelajaran, sejak persiapan awal dan
implementasinya.
Beberapa permasalahan awal pembelajaran berbasis
budaya (multikultural) pada tahap persiapan awal, antara lain :
a)
Guru kurang
mengenal budayanya sendiri, budaya lokal maupun budaya peserta didik.
b)
Guru kurang
menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didiknya, terutama
dalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkannya.
c)
Rendahnya
kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat,
ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya
masing-masing dalam konteks budaya masing-masing serta dalam dimensi pengalaman
belajar yang diperoleh.
2.2 Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di
Indonesia
Pada kenyataannya berbagai dimensi dari keberagaman
budaya Indonesia dapat menimbulkan masalah dalam proses pembelajaran, terutama
dalam kelas yang budaya etnis peserta didiknya sangat beragam, antara lain :
2.2.1
Masalah
seleksi dan integrasi isi (content
selection and integration) mata pelajaran.
Implementasi
pendidikan mutikultural dapat terhambat oleh problem seleksi dan integrasi isi
mata pelajaran yang akan diajarkan. Masalah yang muncul dapat berupa
ketidakmampuan guru memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan
topik mata pelajaran. Selain itu masih banyak guru yang belum dapat
mengintegrasikan budaya lokal dalam mata pelajaran yang diajarkan, sehingga
pembelajaran menjadi kurang bermakna bagi peserta didik.
Untuk
mengatasi problem di atas, guru harus memiliki pengetahuan budaya yang memadai.
selain itu diperlukan sikap dan keterampilan yang bijaksana dalam memilih
metode atau materi pelajaran yang mengandung sensivitas budaya, misalnya materi
tentang perbedaan etnis atau agama. Guru juga dapat memberikan sentuhan warisan
budaya sehingga dapat memotivasi peserta didik mendalami akar budayanya sendiri
dan akan menghasilkan pembelajaran yang kuat bagi peserta didik. Guru juga
dapat menggunakan teknik belajar kooperatif dan kerja kelompok untuk
meningkatkan integrasi ras dan etnis di sekolah dan di kelas.
2.2.2
Masalah
“proses mengkonstrusikan pengetahuan” (the
knowledge construction process)
Selain
masalah seleksi dan integrasi isi mata pelajaran, masalah proses mengkonstruksi
sebuah pengetahuan dapat menjadi problem bagi pendidikan mutikultural. Jika
peserta didik terdiri dari berbagai budaya, etnis, agama, dan golongan dapat
memunculkan kesulitan tersendiri untuk menyusun sebuah bangunan pengetahuan
yang berlandaskan atas dasar perbedaan dan keragaman budaya. Seringkali muncul
kesulitan dalam menentukan aspek budaya mana yang dapat dipilih untuk membantu
peserta didik memahami konsep kunci secara tepat.
Selain itu,
guru juga masih banyak yang belum dapat menggunakan frame of reference dari budaya tertentu dan mengembangkannya dari
perspektif ilmiah. Hal ini terkait kurangnya pengetahuan dari guru tentang
keragaman budaya. Problem lain yang dapat muncul adalah munculnya bias dalam
mengembangkan perspektif multikultur untuk mengkonstruksi pengetahuan.
Kekhawatiran yang muncul adalah munculnya diskriminasi dalam pemberian materi
pelajaran sehingga hanya memunculkan satu kelompok atau golongan tertentu yang
menjadi pokok bahasan pembelajaran.
2.2.3
Masalah
mengurangi prasangka (prejudice reduction)
Salah satu masalah lain yang muncul dalam pembelajaran
mutikultural adalah adanya prasangka dari peserta didik terhadap guru bahwa
guru tertentu cenderung mengutamakan unsur budaya kelompok tertentu. Selain
itu, guru belum dapat mengusahakan kerjasama (cooperation) dan pengertian bahwa strategi pemakaian budaya
tertentu bukan merupakan kompetisi, tetapi sebuah kebersamaan. Oleh karena itu
guru harus mengusahakan bagaimana agar peserta didik yang belum mengenal budaya
yang dijadikan media pembelajaran menjadi tidak berprasangka bahwa guru cenderung mengutamakan budaya
tertentu. Contoh, jika guru memilih Bagong (tokoh wayang di Jawa Tengah) untuk
pembelajaran, maka guru harus menjelaskan siapa Bagong dan mampu
mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot (Jawa Barat), Sangut (Bali), Dawala
dan Bawok (pesisir utara Jawa).
Dengan mengambil contoh yang sepadan, guru dapat menghindari
prasangka bahwa dia mengutamakan unsur budaya tertentu. Situasi tersebut
mendorong kebersamaan antar peserta didik dan saling memperkaya unsur budaya
masing-masing.
2.2.4
Masalah
kesetaraan paedagogi (equity paedagogy)
Masalah ini
muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok tertentu
dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan
atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai
sumber dan pustaka, mencari tahu dari tokoh sehingga guru dapat melaksanakan
kesetaraan pedagogi. Guru harus memiliki “khasanah budaya” mengenai berbagai
unsur budaya dalam tema tertentu, termasuk Tionghoa dan yang lainnya. Misal:
1.
Sastra
Hikayat Rakyat dengan tema durhaka.
Contoh:
Malin Kundang (Minangkabau), Tangkuban Perahu (Sunda), Loro Jonggrang
(Yogyakarta).
2.
Obat-obatan
: jamu (Jawa), minyak kayu putih (Maluku).
3.
Tekstil/tenun
: batik (Jawa), kain ikat (Nusa Tenggara),songket (Melayu Deli, Palembang,
Kalimantan, Lombok, dan Bali).
4.
Perahu
Layar: Phinisi (Bugis-Makasar), Cadik (Madura), Lancang Kuning (Melayu).
5.
Seni teater:
Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah), Lenong (Betawi), Ketoprak
(Yogyakarta).
6.
Tokoh
Pahlawan: Dewi Sartika (Sunda), Cut Nyak Dien, Cut Meutia (Aceh), Kartini (Jawa
Tengah).
Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai
budaya etnis atau kelompok tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya
kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu,
tenaga dan referensi dari berbagai sumber dan pustaka sehingga guru dapat
melaksanakan kesetaraan paedagogi. Guru harus memiliki “khasanah budaya”
mengenai berbagai unsur budaya dalam tema tertentu. Misalnya jika menerangkan
tentang kesenian teater, guru dapat menyebutkan dan mengidentifikasi beragam
kesenian dari berbagai daerah seperti Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa
Tengah), Lenong (Betawi), dan Ketoprak (Yogyakarta).
Konklusinya, penerapan pendidikan mutikultural di
Indonesia masih mengalami berbagai problem atau masalah, yang dapat
diidentifikasi menjadi dua problem utama yaitu problem kemasyarakatan dan
problem pembelajaran pendidikan mutikultural.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
DAFTAR
PUSTAKA
Sutarno.Pendidikan
Multikultural.2007. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Departemen Pendidikan Nasional.
multikultural/
0 komentar:
Posting Komentar