Problema Pembelajaran Pendidikan Multikultural

| Kamis, 06 Februari 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sejak lama, seluruh bangsa Indonesia selalu diingatkan agar selalu hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang beraneka suku bangsa, agama, ras dan anatar golongan. Kita diseru untuk mengerti, menghayati, dan melaksanakan kehidupan bersama demi tercapainya persatuan dan kesatuan sebagaimana semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Artinya kita selalu diingatkan untuk menghargai dan menghayati perbedaan SARA sebagai unsur utama yang mempersatukan bangsa ini dan bukan menjadi alasan terjadinya konflik.
Kesadaran akan pentingnya kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap terlalu menekankan kesatuan daripada keragaman. Kemajemukan dalm banyak hal suku, agama, ras dan golongan seharusnya menjadi hasanah dan modal untuk memmbangun. Maka ketika konfilik bergejolak di daerah, negara seakan-akan menutupi realitas kemajemukan itu atas nama “kesatuan bangsa” atau “stabilisasi nasional”. Konflik sosial yang sering muncul sebagai akibat pengingkaran terhadap kenyataan kemajemukan dan penyebab adanya konflik sosial.
Bertolak dari kenyataan ini, kita dirasakan semakin perlunya kebijakan multikultural yang memihak keragaman. Dari kebijakan itu nantinya diharapkan masyarakat dapat mengelola perbedaan yang ada disekitar dengan positif. Dengan demikian, perbedaan dalam beragam area kehidupan tidak memicu prasangka atau konflik, tetapi sebaliknya mendorong dinamika ke arah yang lebih baik.
Penerapan pendidikan multikultural di Indonesia masih mengalami berbagai hambatan atau problem. Problem pendidikan multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problem yang dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi, sejarah dan kemajuan sosial ekonomi dapat menjadi pemicu munculnya problem pendidikan multikultural di Indonesia. Problem pendidikan multikultural di Indonesia secara garis besar dapat dipetakan menjadi dua hal, yaitu : problem kemasyarakatan pendidikan multikultural dan problem pembelajaran pendidikan multikultural.

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apa saja permasalahan awal dalam pembelajaran berbasisis budaya?
1.2.2        Apa saja Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia?
1.3  Tujuan Masalah
1.3.1        Untuk mendefinisi permasalahan awal dalam pembelajaran berbasisis budaya.
1.3.2        Untuk mengklarifikasi Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia.











BAB II
PEMBAHASAN

1.1         Permasalahan Awal dalam Pembelajaran Berbasisis Budaya
Pendidikan multikultural yang akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan ternyata tidak terlepas dari berbagai problem yang menghambatnya. Selain problem kemasyarakatan, pendidikan multikultural juga tidak lepas dari problem dalam proses pembelajarannya. Dalam kerangka strategi pembelajaran, pembelajaran berbasis budaya dapat mendorong terjadinya proses imajinatif, metaforik, berpikir kreatif, dan sadar budaya. Namun demikian, penggunaan budaya lokal (etnis) dalam pembelajaran berbasis budaya tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terdapat dalam setiap komponen pembelajaran, sejak persiapan awal dan implementasinya.
Beberapa permasalahan awal pembelajaran berbasis budaya (multikultural) pada tahap persiapan awal, antara lain :
a)      Guru kurang mengenal budayanya sendiri, budaya lokal maupun budaya peserta didik.
b)      Guru kurang menguasai garis besar struktur dan budaya etnis peserta didiknya, terutama dalam konteks mata pelajaran yang akan diajarkannya.
c)      Rendahnya kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat, ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya masing-masing dalam konteks budaya masing-masing serta dalam dimensi pengalaman belajar yang diperoleh.
2.2 Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pada kenyataannya berbagai dimensi dari keberagaman budaya Indonesia dapat menimbulkan masalah dalam proses pembelajaran, terutama dalam kelas yang budaya etnis peserta didiknya sangat beragam, antara lain :
2.2.1        Masalah seleksi dan integrasi isi (content selection and integration) mata pelajaran.
Implementasi pendidikan mutikultural dapat terhambat oleh problem seleksi dan integrasi isi mata pelajaran yang akan diajarkan. Masalah yang muncul dapat berupa ketidakmampuan guru memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan topik mata pelajaran. Selain itu masih banyak guru yang belum dapat mengintegrasikan budaya lokal dalam mata pelajaran yang diajarkan, sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna bagi peserta didik.
Untuk mengatasi problem di atas, guru harus memiliki pengetahuan budaya yang memadai. selain itu diperlukan sikap dan keterampilan yang bijaksana dalam memilih metode atau materi pelajaran yang mengandung sensivitas budaya, misalnya materi tentang perbedaan etnis atau agama. Guru juga dapat memberikan sentuhan warisan budaya sehingga dapat memotivasi peserta didik mendalami akar budayanya sendiri dan akan menghasilkan pembelajaran yang kuat bagi peserta didik. Guru juga dapat menggunakan teknik belajar kooperatif dan kerja kelompok untuk meningkatkan integrasi ras dan etnis di sekolah dan di kelas.
2.2.2        Masalah “proses mengkonstrusikan pengetahuan” (the knowledge construction process)
Selain masalah seleksi dan integrasi isi mata pelajaran, masalah proses mengkonstruksi sebuah pengetahuan dapat menjadi problem bagi pendidikan mutikultural. Jika peserta didik terdiri dari berbagai budaya, etnis, agama, dan golongan dapat memunculkan kesulitan tersendiri untuk menyusun sebuah bangunan pengetahuan yang berlandaskan atas dasar perbedaan dan keragaman budaya. Seringkali muncul kesulitan dalam menentukan aspek budaya mana yang dapat dipilih untuk membantu peserta didik memahami konsep kunci secara tepat.
Selain itu, guru juga masih banyak yang belum dapat menggunakan frame of reference dari budaya tertentu dan mengembangkannya dari perspektif ilmiah. Hal ini terkait kurangnya pengetahuan dari guru tentang keragaman budaya. Problem lain yang dapat muncul adalah munculnya bias dalam mengembangkan perspektif multikultur untuk mengkonstruksi pengetahuan. Kekhawatiran yang muncul adalah munculnya diskriminasi dalam pemberian materi pelajaran sehingga hanya memunculkan satu kelompok atau golongan tertentu yang menjadi pokok bahasan pembelajaran.
2.2.3        Masalah mengurangi prasangka (prejudice reduction)
Salah satu masalah lain yang muncul dalam pembelajaran mutikultural adalah adanya prasangka dari peserta didik terhadap guru bahwa guru tertentu cenderung mengutamakan unsur budaya kelompok tertentu. Selain itu, guru belum dapat mengusahakan kerjasama (cooperation) dan pengertian bahwa strategi pemakaian budaya tertentu bukan merupakan kompetisi, tetapi sebuah kebersamaan. Oleh karena itu guru harus mengusahakan bagaimana agar peserta didik yang belum mengenal budaya yang dijadikan media pembelajaran menjadi tidak berprasangka  bahwa guru cenderung mengutamakan budaya tertentu. Contoh, jika guru memilih Bagong (tokoh wayang di Jawa Tengah) untuk pembelajaran, maka guru harus menjelaskan siapa Bagong dan mampu mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot (Jawa Barat), Sangut (Bali), Dawala dan Bawok (pesisir utara Jawa).
Dengan mengambil contoh yang sepadan, guru dapat menghindari prasangka bahwa dia mengutamakan unsur budaya tertentu. Situasi tersebut mendorong kebersamaan antar peserta didik dan saling memperkaya unsur budaya masing-masing.


2.2.4        Masalah kesetaraan paedagogi (equity paedagogy)
Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai sumber dan pustaka, mencari tahu dari tokoh sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan pedagogi. Guru harus memiliki “khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya dalam tema tertentu, termasuk Tionghoa dan yang lainnya. Misal:
1.      Sastra Hikayat Rakyat dengan tema durhaka.
Contoh: Malin Kundang (Minangkabau), Tangkuban Perahu (Sunda), Loro Jonggrang (Yogyakarta).
2.      Obat-obatan : jamu (Jawa), minyak kayu putih (Maluku).
3.      Tekstil/tenun : batik (Jawa), kain ikat (Nusa Tenggara),songket (Melayu Deli, Palembang, Kalimantan, Lombok, dan Bali).
4.       Perahu Layar: Phinisi (Bugis-Makasar), Cadik (Madura), Lancang Kuning (Melayu).
5.      Seni teater: Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah), Lenong (Betawi), Ketoprak (Yogyakarta).
6.      Tokoh Pahlawan: Dewi Sartika (Sunda), Cut Nyak Dien, Cut Meutia (Aceh), Kartini (Jawa Tengah).
Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai sumber dan pustaka sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan paedagogi. Guru harus memiliki “khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya dalam tema tertentu. Misalnya jika menerangkan tentang kesenian teater, guru dapat menyebutkan dan mengidentifikasi beragam kesenian dari berbagai daerah seperti Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah), Lenong (Betawi), dan Ketoprak (Yogyakarta).
Konklusinya, penerapan pendidikan mutikultural di Indonesia masih mengalami berbagai problem atau masalah, yang dapat diidentifikasi menjadi dua problem utama yaitu problem kemasyarakatan dan problem pembelajaran pendidikan mutikultural.
















BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan









3.2 Saran






DAFTAR PUSTAKA
Sutarno.Pendidikan Multikultural.2007. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
       Departemen Pendidikan Nasional.
       multikultural/





  

0 komentar:

Next Prev
▲Top▲