Pendekatan dalam Pendidikan Multikultural

| Kamis, 06 Februari 2014
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kurikulum menjadi faktor yang menentukan dalam Pendidikan Multikultural. Di sekolah-sekolah Amerika Serikat terdapat berbagai pendekatan dalam melakukan reformasi kurikulum multikultural. Dalam makalah ini akan diuraikan berbagai pendekatan Pendidikan Multikultural, khususnya di Amerika Serikat. Setiap negara, termasuk Indonesia mempunyai permasalahan unik yang berbeda-beda, namun ada sejumlah permasalahan yang sama dan kita bisa banyak belajar dari negara lain, termasuk Amerika Serikat yang sudah lama mendalami dan mengembangkannya. Kita tahu bahwa Perintis Pendidikan Multikultural berasal dari negara ini. Berikut ini akan kita telaah bersama-sama perkembangan kurikulum untuk Pendidikan Multikultural.


B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.         Bagaimanakah bentuk-bentuk dari kurikulum yang berpusat pada paham budaya utama?
2.         Bagaimanakah upaya menyusun kurikulum multikultural?
3.         Apa sajakah tahap-tahap integrasi materi multikultural ke dalam kurikulum?

C.    Tujuan
Tujuan dalam penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui:
1.      Kurikulum yang berpusat pada paham budaya utama.
2.      Upaya menyusun kurikulum multikultural.
3.      Tahap-tahap integrasi materi multikultural ke dalam kurikulum.

D.    Manfaat
Hasil dari penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai bentuk-bentuk kurikulum yang berpusat pada paham budaya utama. Selain itu, penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk menambah pengetahuan dalam upaya penyusunan kurikulum multikultural serta pendekatan-pendekatan yang mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kurikulum Berpusat Pada Paham Budaya Utama
Banks (dalam Sutarno, 2007: 2-13) mengemukakan bahwa:
Amerika Serikat terbentuk dari berbagai kelompok ras, etnis, agama, dan budaya yang berbeda. Sebagian besar kurikulum sekolah, buku teks, dan materi pelajaran kurang memberi perhatian pada kelompok ini. Bahkan, sebagian besar kurikulum, buku teks, dan materi pelajaran lebih berfokus pada White Anglo-Saxon Protestants.’

Kelompok budaya yang dominan di masyarakat AS ini sering disebut aliran utama budaya orang Amerika. Kurikulum yang hanya berfokus pada aliran utama (budaya dominan) Amerika dan mengabaikan pengalaman, budaya dan sejarah dari kelompok etnis, ras, budaya dan agama yang lain akan memiliki konsekuensi yang negatif. Konsekuensi negatif bagi siswa Amerika dari aliran utama maupun siswa dari kulit berwarna yang bukan termasuk dalam kelompok dominan ini. James A. Banks berpendapat bahwa kurikulum yang berpusat pada aliran utama (a mainstream-centric curriculum) ini justru dapat menjadi satu cara utama yang memperkuat rasisme dan etnosentrisme dan hal ini diabadikan di sebagian besar sekolah dan di masyarakat Amerika. Kurikulum berpusat pada aliran utama memiliki konsekuensi negatif terhadap siswa dari aliran utama karena kurikulum ini memperkokoh rasa superioritas yang keliru (false sense of superiority), memberi mereka konsepsi yang salah tentang hubungan mereka dengan kelompok ras dan etnis lainnya, dan menolak kesempatan memperoleh manfaat dari pengetahuan, perspektif, dan kerangka pikir yang dapat diperoleh dari mengkaji dan mengalami budaya dan kelompok lain. Kurikulum yang berpusat pada aliran utama juga mengabaikan kesempatan siswa Amerika aliran utama untuk melihat kebudayaan mereka dari sudut pandang budaya lain. Jika orang melihat kebudayaan mereka dari sudut pandang budaya lain, mereka dapat memahami budayanya sendiri secara lebih utuh. Dengan demikian mereka dapat melihat bagaimana keunikannya dan perbedaanya dari budaya lain, dan memahami secara lebih baik bagaimana budaya itu berhubungan dan berinteraksi dengan budaya lainnya.
Kurikulum berpusat aliran utama berpengaruh secara negatif terhadap siswa kulit berwarna, seperti orang Afrika-Amerika, Hispanis, dan Asia-Amerika. Kurikulum itu mengabaikan pengalaman dan budaya mereka dan tidak menggambarkan impian, harapan, dan perspektif kelompok yang tidak termasuk aliran utama ini. Siswa akan dapat belajar secara maksimal dan amat termotivasi jika kurikulum sekolah menggambarkan budaya, pengalaman, dan perspektif mereka. Beberapa siswa kulit berwarna diasingkan di sekolah tempat dia belajar karena mereka mengalami konflik budaya dan diskontinuitas yang disebabkan perbedaan budaya antara sekolah dengan masyarakat mereka. Sekolah dapat membantu untuk menjadi juru penengah antara budaya rumah dan sekolah dari siswa kulit berwarna dengan mengimplementasikan kurikulum yang menggambarkan budaya dari kelompok dan komunitas etnis mereka. Sekolah dapat dan seharusnya mengefektifkan penggunaan budaya masyarakat dari siswa kulit berwarna saat mengajari mereka seperti mata pelajaran menulis, seni, bahasa, sains dan matematika.
Pada pendekatan berpusat aliran utama, peristiwa, tema, konsep, dan isu dipandang terutama dari perspektif kelas menengah Anglo-Amerika dan Eropah. Perkembangan peristiwa dan budaya seperti eksplorasi orang Eropah di Amerika dan perkembangan musik Amerika dipandang dari perspektif Anglo dan Eropah dan dievaluasi dengan menggunakan kriteria dan sudut pandang dari aliran utama.
Jika eksplorasi orang Eropah atas Amerika dipandang dari perspektif berpusat-Eropah, Amerika dipandang sebagai “ditemukan” oleh penjelajah Eropah seperti Columbus dan Cortes. Pandangan bahwa penduduk asli di Amerika diketemukan oleh orang Eropah menyiratkan bahwa budaya Indian tidak ada hingga mereka “ditemukan” oleh orang Eropah. Sesudah itu orang Eropah menempati dan mengklaim bahwa tanah itu yang didiami oleh Indian Amerika itu menjadi pemilik yang sah (rightfully owner). Pandangan Anglosentris, yang mengabaikan keberadaan kelompok Indian Amerika ini sangat mewarnai gaya penulisan. Dengan pilihan kata seperti yang mendiami (settlers), dan pemberontakan (rebelled), penulis menjustifikasi pengambilan tanah Indian dan menggambarkan perlawanan mereka sebagai pemberontakan. Ini yang tidak masuk akal. Bandingkan dengan peristiwa Perang Kemerdekaan I dan II yang terjadi sekitar tahun 1947 dan 1948. Oleh pemerintah Hindia Belanda, peperangan itu dianggap sebagai aksi polisional. Jadi “perang kemerdekaan itu” dipandang sebagai aksi polisi yang mengatasi kekacauan.
Jika bentuk dan sifat pengembangan budaya AS seperti musik dan tari, dipandang dari perspektif berpusat-aliran utama, bentuk seni tertentu menjadi penting dan berarti hanya jika diakui atau dilegitimasi oleh kritikus dan artis aliran utama. Musik dari seniman Afrika-Amerika seperti Chuck Berry dan Little Richard tidak dipandang sebagai signifikan oleh masyarakat aliran utama sampai penyanyi kulit putih seperti Beatles dan Rod Stewart secara publik mengakui secara signifikan musik mereka sendiri benar-benar dipengaruhi oleh seniman Afrika-Amerika. Seringkali artis kulit putih mengakui bentuk dan inovasi budaya etnis oleh orang Asia-Amerika, Afrika Amerika, Hispanis, dan Amerika Asli.

B.     Upaya Menyusun Kurikulum Multikultural
Sejak gerakan hak-hak sipil tahun 1960-an, para pendidik sedang mencoba, dengan berbagai cara, mengintegrasikan kurikulum sekolah secara lebih baik dengan materi etnis dan berupaya mengubah kurikulum berpusat Eropah (aliran utama). Hal ini dibuktikan dengan sulitnya merumuskan tujuan sekolah karena adanya berbagai pertimbangan yang kompleks. Ideologi Kaum Asimilasi yang kuat yang dianut oleh sebagian besar pendidik AS adalah satu alasan utama. Ideologi asimilasionis membuat pendidiknya sulit berpikir beda tentang bagaimana masyarakat dan budaya AS berkembang dan memperoleh komitmen untuk membuat kurikulum multikultural. Individu yang memiliki ideologi asimilasionis yang kuat berpandangan bahwa peristiwa dan perkembangan paling penting di masyarakat AS dihubungkan dengan warisan negara Inggris dan bahwa kontribusi kelompok etnis dan budaya yang lain tidak begitu penting.
Jika pendidik mempelajari ideologi dan konsepsi multikultural tentang budaya Amerika Serikat secara benar, maka mereka mampu memandang arti pentingnya pengalaman dan kontribusi dari berbagai kelompok budaya, etnis, dan religi bagi perkembangan Amerika Serikat.
Perlawanan ideologis (ideological resistance) merupakan faktor utama yang memperlambat dan masih lambatnya perkembangan multikultural, namun faktor lain juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Perlawanan politis terhadap kurikulum multikultural sangat berkaitan dengan perlawanan ideologis. Beberapa orang yang menentang kurikulum multikultural meyakini bahwa pengetahuan adalah kekuatan dan bahwa perspektif multikultural masyarakat AS menantang struktur kekuatan yang ada. Jadi mereka berpandangan bahwa kemunculan kurikulum multikultural bisa dianggap sebagai kekuatan baru yang membahayakan eksistensi dari kelompok yang menjadi aliran utama ini. Mereka yakin bahwa kurikulum berpusat pada aliran utama yang dominan mendukung, memperkuat, dan membenarkan struktur sosial, ekonomi dan politik yang ada. Kurikulum berpusat pada aliran utama berusaha mempertahankan status quo. Sedangkan perspektif dan sudut pandang multikultural akan membenarkan dan mempromosikan perubahan sosial dan rekonstruksi sosial. Ada dua sisi yang berhadapan yakni kelompok aliran utama ingin mempertahankan status quo seperti sekarang ini dan kelompok multikultural yang ingin melakukan rekonstruksi sosial.
Pada tahun-tahun terakhir perdebatan hangat terjadi tentang seberapa jauh kurikulum seharusnya berpusat Eropah dan Barat dan seberapa jauh seharusnya menggambarkan perbedaan kultural, etnis dan rasial di Amerika Serikat. Paling tidak ada tiga posisi utama yang dapat diidentifikasi dalam perdebatan ini. Tradisionalis Barat berpendapat Barat, seperti didefinisikan dan dikonseptualisasi di masa lampau, seharusnya menjadi fokus di dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi di Amerika Serikat dan bahkan seluruh dunia. Ahli Afrosentris berpendapat bahwa kontribusi Afrika dan orang Afrika seharusnya mendapat penekanan yang lebih di dalam kurikulum. Multikulturalis berpendapat bahwa sekalipun Barat harus mendapat penekanan lebih dalam kurikulum, Barat harus mengkonseptualisasi kembali sehingga menggambarkan kontribusi orang kulit berwarna dalam membentuk budaya Barat. Juga mengajarkan tentang jurang pemisah antara ideal dan realitasnya tentang rasialisme, gender, dan diskriminasi dari budaya Barat. Multikulturalis juga yakin bahwa di samping mempelajari tentang Barat, siswa seharusnya mempelajari kebudayaan dunia yang lain, seperti budaya di Afrika, Asia, dan Timur Tengah, dan Amerika, termasuk seperti apa mereka adanya sebelum bangsa Eropah datang.
Faktor lain yang memperlambat pelembagaan kurikulum multikultural mencakup rendahnya tingkat pengetahuan tentang budaya etnis yang dikuasai sebagian besar pendidik dan beratnya beban pelajaran yang ada pada buku teks. Pengajar harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang budaya etnis dan juga memiliki pengalaman mengintegrasikan materi, pengalaman, dan sudut pandang etnis dalam kurikulum. Pengajar menceritakan pada siswanya bahwa Columbus menemukan Amerika dan bahwa Amerika adalah suatu “dunia baru” karena mereka hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang aneka budaya Amerika Asli yang ada di Amerika selama lebih dari 40.000 tahun. Padahal bangsa Eropah baru menempati Amerika dalam jumlah yang signifikan pada abad enam belas.
Beberapa studi telah menyatakan bahwa buku teks masih menjadi sumber utama pengajaran, khususnya mata pelajaran tertentu seperti studi sosial, membaca, dan seni bahasa. Beberapa perubahan signifikan telah dibuat dalam buku teks sejak gerakan hak-hak sipil tahun 1960-an. Banyak kelompok etnis dan wanita telah muncul dalam buku teks saat ini dibandingkan masa lampau. Namun, materi tentang kelompok etnis dalam buku teks biasanya disajikan dari perspektif aliran utama, mengandung informasi dan kepahlawanan yang diseleksi dengan menggunakan kriteria aliran utama, dan jarang terintegrasi secara konsisten dan total. Informasi seputar kelompok etnis biasanya dibahas dalam unit, topik, dan bagian teks yang khusus. Mereka mendekati pengajaran bermuatan etnis dalam cara-cara yang terpilah-pilah.

C.    Tahap-tahap Integrasi Materi Multikultural ke dalam Kurikulum
Sejak tahun 1960-an dapat diidentifikasi ada empat pendekatan yang mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum:
1.      Pendekatan Kontribusi (the contributions approach).
Level 1 ini adalah satu dari yang paling sering dan paling luas dipakai dalam fase pertama dari gerakan kebangkitan etnis (ethnic revival movement). Juga sering digunakan jika sekolah mencoba mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum aliran utama.
Ciri pendekatan kontribusi adalah dengan memasukkan pahlawan etnis dan benda-benda budaya yang khas ke dalam kurikulum, yang dipilih dengan menggunakan kriteria budaya aliaran utama. Jadi individu seperti Crispus Attucks, Benjamin Bannaker, Sacajawea, Booker T. Washington, dan Cesar Chavez sebagai pahlawan dari kelompok multikultural ditambahkan dalam kurikulum. Mereka dibahas saat pahlawan Amerika aliran utama seperti Patrick Henry, George Washington, Thomas Jefferson, dan John F. Kennedy dipelajari dalam kurikulum inti. Elemen budaya yang khas seperti makanan, tari, musik dan benda kelompok etnis dipelajari, namun hanya sedikitmemberi perhatian pada makna dan pentingnya budaya khas itu bagi komunitas etnis.
Karakteristik penting dari pendekatan kontribusi adalah bahwa kurikulum aliran utama tetap tidak berubah dalam struktur dasar, tujuan, dan karakteristik. Persyaratan implementasi pendekatan ini adalah minimal yang hanya mencakup pengetahuan dasar mengenai masyarakat AS dan pengetahuan tentang pahlawan etnis dan peranan dan kontribusinya terhadap masyarakat dan budaya AS. Individu yang menentang ideologi, nilai dan konsepsi masyarakat yang dominan dan yang mendukung reformasi sosial, politik, dan ekonomi radikal jarang dimasukkan dalam pendekatan kontribusi. Jadi Booker T. Washington lebih mungkin dipilih untuk studi dibandingkan dengan W.E.B Du Bois, dan Sacajawea lebih mungkin dipilih daripada Geronimo. Kriteria yang dugunakan untuk memilih pahlawan etnis untuk dipelajari dan penentuan keberhasilan perjuangannya berasal dari masyarakat aliran utama dan bukan dari komunitas etnis. Akibatnya, pemakaian pendekatan kontribusi biasanya menghasilkan studi tentang pahlawan etnis yang hanya menggambarkan satu perspektif penting dalam komunitas etnis. Dalam pendekatan kontribusi, individu yang lebih radikal dan kurang konformis yang hanya menjadi pahlawan bagi komunitas etnis cenderung untuk diabaikan dalam buku teks, materi pembelajaran dan aktivitas yang dipakai.
Pendekatan kepahlawanan dan hari libur adalah varian dari pendekatan kontribusi. Dalam pendekatan ini, materi etnis terutama terbatas pada hari, minggu dan bulan spesial yang berhubungan dengan peristiwa dan peringatan etnis. Cinco de Mayo, HUT Martin Luther King, dan Minggu Sejarah Afrika Amerika merupakan contoh hari dan minggu etnis yang diperingati di sekolah. Selama perayaan ini, pengajar melibatkan siswa dalam pelajaran, pengalaman, dan pawai sejarah yang berkaitan dengan kelompok etnis yang sedang diperingati. Ketika pendekatan ini digunakan, kelas mempelajari sedikit atau tidak sama sekali tentang kelompok etnis sebelum atau sesudah peristiwa atau kesempatan khusus itu.
Pendekatan kontribusi memberi kesempatan pada guru untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum secara cepat dengan memberi pengenalan tentang kontribusi etnis terhadap masyarakat dan budaya AS. Pengajar yang komit untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang kelompok etnis dan hanya sedikit merevisi kurikulum.
Akibatnya, mereka menggunakan pendekatan kontribusi saat mengajarkan tentang kelompok etnis. Guru-guru ini seharusnya mendorong, mendukung, dan memberi kesempatan untuk mempelajari pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan untuk mereformasi kurikulumnya dengan menggunakan satu atau beberapa pendekatan yang efektif.
Seringkali ada tuntutan politik yang kuat dari komunitas etnis terhadap sekolah untuk mencantumkan pahlawan, kontribusi dan budaya mereka ke dalam kurikulum sekolah. Kekuatan politik ini dapat mengambil bentuk tuntutan atas pahlawan dan kontribusi pahlawan dari kelompok mereka karena pahlawan aliran utama seperti Washington, Jefferson, dan Lincoln sangat nampak dalam kurikulum sekolah. Masyarakat etnis kulit berwarna ingin melihat pahlawan dan kontribusi mereka sendiri berdampingan dengan masyarakat aliran utama. Kontribusi tersebut dapat membantu mereka merasa dicantumkan (inklusi struktural), teruji, dan persamaan. Inklusi kurikulum juga memfasilitasi penelitian tentang kelompok etnis dan budaya yang menjadi korban kekuatan dan kekuasaan yang ada saat ini.
Pendekatan kontribusi juga merupakan pendekatan paling awal bagi pengajar untuk digunakan untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum. Namun, pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan serius. Jika integrasi kurikulum dilengkapi terutama dengan memasukkan pahlawan dan kontribusi etnis, siswa tidak memperoleh pandangan global tentang peranan kelompok etnis dan budaya di masyarakat AS. Lebih dari itu, mereka melihat isu dan peristiwa etnis terutama sebagai tambahan terhadap kurikulum dan akibatnya budaya itu hanya berkedudukan sebagai tempelan terhadap sejarah utama perkembangan bangsa dan terhadap kurikulum inti dari seni bahasa, studi sosial, seni, dan bidang pelajaran yang lain.
Pengajaran isu etnis dengan menggunakan kepahlawanan dan kontribusi juga cenderung untuk mengabaikan konsep dan isu penting yang berkaitan dengan korban dan penindasan dari kelompok enis dan perjuangan melawan rasisme dan kekuasaan. Isu seperti ras, kemiskinan, dan penindasan cenderung dijauhi dalam pendekatan kontribusi untuk integrasi kurikulum. Cenderung berfokus pada suatu keberhasilan dan pengesahan dari mitos Horatio Alger bahwa semua orang Amerika yang berkemauan untuk bekerja keras dapat beranjak dari miskin menjadi kaya dan menaikkan sendiri dengan usaha mereka sendiri.
Kisah keberhasilan dari sejarah etnis seperti Booker T. Washington George Washington Carver, dan Jackie Robinson, biasanya diceritakan dengan fokus pada kesuksesan mereka, dengan sedikit perhatian pada rasisme dan hambatan lain yang mereka hadapi dan bagaimana mereka berhasil mengatasi rintangan yang mereka hadapi. Siswa seharusnya belajar tentang proses seseorang menjadi pahlawan di samping tentang status dan peranannya sebagai pahlawan. Hanya jika siswa mempelajari proses individu menjadi pahlawan akan membuat mereka memahami secara utuh bagaimana individu, khususnya individu kulit berwarna, mencapai dan mempertahankan status pahlawan dan proses menjadi pahlawan apa yang berarti bagi kehidupan mereka sendiri.
Pendekatan kontribusi seringkali menghasilkan peremehan budaya etnis, studi tentang karakteristik aneh dan eksotis mereka, dan penguatan stereotipe dan salah konsepsi. Jika fokusnya adalah pada kontribusi dan aspek unik dari budaya etnis, siswa tidak terbantu untuk memandangnya sebagai keseluruhan yang lengkap dan dinamis. Pendekatan kontribusi juga cenderung berfokus pada gaya kelompok etnis daripada struktur lembaga seperti rasisme dan diskriminasi, yang secara kuat mempengaruhi kesempatan hidup mereka dan tetap membuatnya lemah dan terpinggirkan.
Pendekatan kontribusi terhadap integrasi materi dapat memberi siswa dengan pengalaman sesaat yang dapat diingat dengan pahlawan etnis, namun seringkali gagal untuk membantunya memahami peran dan pengaruh pahlawan itu dalam konteks keseluruhan dari sejarah dan masyarakat Amerika. Jika pahlawan etnis dipelajari terpisah dan menjadi bagian dari konteks sosial dan politis di mana mereka hidup dan bekerja, siswa hanya memperoleh pemahaman parsial tentang peranan dan signifikannya dalam masyarakat. Jika Martin Luther King, Jr. dipelajari di luar konteks sosial dan politik rasisme pelembagaan di AS Selatan pada tahun 1940 dan 1950 an, dan tanpa perhatian yang lebih tajam dari rasisme pelembagaan di Utara selama periode ini, signifikansi utuhnya sebagai pembaharu sosial tidak ternyatakan ataupun dimengerti oleh siswa.
2.      Pendekatan Aditif (Additive Approach)
Tahap kedua Pendekatan penting lain terhadap integrasi materi etnis terhadap kurikulum adalah penambahan materi, konsep, tema dan perspektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan dan karateristik dasarnya. Pendekatan Aditif (Tahap 2) ini sering dilengkapi dengan penambahan suatu buku, unit, atau bidang terhadap kurikulum tanpa mengubahnya secara substansial. Contoh pendekatan ini meliputi penambahan buku seperti The Color Purple pada suatu unit tentang abad duapuluh, penggunaan film Miss Jane Patman selama unit tentang 1960-an, dan penambahan tentang suatu unit pada tawanan Jepang Amerika selama studi Perang Dunia II di sebuah kelas sejarah Amerika Serikat.
Pendekatan aditif memungkinkan pengajar untuk memasukkan materi etnis ke dalam kurikulum tanpa restrukturisasi, suatu proses yang akan memakan waktu, usaha, latihan dan pemikiran kembali dari maksud, sifat dan tujuan kurikulum yang substansial. Pendekatan aditif dapat menjadi fase awal dalam upaya reformasi kurikulum transformatif yang didesain untuk menyusun kembali kurikulum total dan untuk mengintegrasikannya dengan materi, perspektif dan kerangka pikir etnis.
Namun pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan seperti dari pendekatan kontribusi. Yang paling penting adalah pandangan tentang materi etnis dari perspektif sejarawan, penulis, artis, dan ilmuwan aliran utama yang tidak memerlukan restrukturisasi kurikulum. Peristiwa, konsep, isu, dan masalah yang diseleksi untuk studi diseleksi dengan menggunakan kriteria dan perspektif Eurosentris dan aliran utama sentris. Jika mengajar suatu unit seperti Gerakan Barat pada kelas sejarah di AS kelas 5, guru dapat mengintegrasikan unit dengan menambahkan materi tentang Oglala Sioux Indian. Namun, unit tetap berpusat dan difokuskan pada aliran utama. Suatu unit disebut Gerakan Barat dan Eropah sentris sebagai aliran utama karena berfokus pada orang Eropah Amerika dari bagian Timur ke Barat Amerika Serikat. Oglala Sioux telah ada di Barat dan akibatnya tidak bergerak menuju ke barat. Unit mungkin menyebut Invasi dari Timur, dari sudut pandang Oglala Sioux. Black Elk, orang suci Oglala Sioux, mengeluhkan pemusnahan orang-orangnya yang berpuncak pada kekalahan mereka di Wounded Knee Creek pada 29 Desember 1890. Kurang lebih 200 laki, perempuan, dan anak Sioux terbunuh oleh pasukan AS. Black Elk berkata,”Ranting-ranting bangsa (Sioux) patah dan terpencar. Tidak ada lagi pusat, dan pohon yang dikeramatkan telah mati.”
Black Elk tidak memandang tanahnya “Barat,” tetapi lebih pada pusat dunia. Ia memandang arah utama secara metafisik. Jika mengajar tentang gerakan orang Eropah melintasi Amerika Utara , pengajar seharusnya membantu siswa memahami bahwa kelompok budaya, ras, dan etnis yang berbeda sering memiliki konsepsi dan sudut pandang yang berbeda dan bertentangan atas peristiwa sejarah, konsep, isu, dan perkembangan yang sama. Pemenang dan yang ditundukkan seringkali memiliki konsep yang berlawanan atas peristiwa sejarah yang sama. Namun, biasanya sudut pandang pemenang yang terlembagakan dalam sekolah dan masyarakat aliran utama. Ini terjadi karena sejarah dan buku teks biasanya ditulis oleh orang yang menang perang dan memperoleh keuntungan untuk mengontrol masyarakat, dan bukan oleh yang kalah – korban dan lemah. Perspektif dari kedua kelompok perlu untuk membantu kita memahami secara penuh sejarah, budaya dan masyarakat kita.
Orang yang ditaklukkan dan orang yang menaklukkan memiliki sejarah dan budaya yang saling menjalin dan saling berhubungan secara berbelit-belit. Mereka harus mempelajari masing-masing sejarah dan budaya yang lain untuk memahaminya secara utuh. Pendekatan aditif gagal membantu siswa melihat masyarakat dari perspektif budaya dan etnis yang berbeda dan memahami cara yang saling berhubungan sejarah dan budaya dari kelompok etnis, ras, budaya, dan religi yang berbeda.
Isi, materi, dan isu yang ditambahkan ke dalam kurikulum seperti embel-embel daripada bagian integral dari unit pelajaran dapat menjadi problematis. Problem mungkin muncul jika buku seperti The Color Purple atau film seperti Miss Jane Pittman ditambahkan pada unit jika siswa kekurangan konsep, latar belakang materi, dan kematangan emosional sehubungan dengan isu dan masalah dalam materi ini. Penggunaan efektif dari materi yang kompleks dan bermuatan emosi biasanya memerlukan guru yang membantu siswa mempelajari secara bertahap dan berkembang, memiliki latar belakang materi yang kuat serta memiliki kematangan sikap. Penggunaan kedua materi ini di kelas dan sekolah yang berbeda telah menimbulkan masalah utama bagi pengajar yang menggunakannya. Suatu kontroversi masyarakat timbul. Masalah berkembang karena materi digunakan pada siswa yang tidak memiliki latar belakang isi atau kepuasan sikap untuk meresponnya secara memadai. Menambahkan materi etnis ke dalam kurikulum menurut cara yang sporadis dan terpilah-piliah dapat menyebabkan masalah pedagogis, kesulitan bagi guru, kebingungan siswa, dan kontroversi masyarakat.
3.      Pendekatan Transformasi
Pendekatan transformasi (The transformation approach) berbeda secara mendasar dari pendekatan kontribusi dan aditif. Pada kedua pendekatan, materi etnis ditambahkan pada kurikukulum inti aliran utama tanpa mengubah asumsi dasar, sifat, dan strukturnya. Dalam pendekatan transformasi ada perubahan dalam tujuan, struktur, dan perspektif fundamental dari kurikulum.
Pendekatan transformasi (tahap 3) mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi siswa dalam melihat konsep, isu, tema dan problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis. Perspektif berpusat pada aliran utama adalah hanya satu di antara beberapa perspektif darimana isu, masalah, konsep, dan isu dipandang. Tidak mungkin dan tidak inginlah untuk melihat setiap isu, konsep, peristiwa atau masalah dari sudut pandang setiap kelompok etnis AS. Lebih dari itu, tujuan seharusnya memungkinkan siswa untuk melihat konsep dan isu lebih dari satu perspektif dan melihat peristiwa, isu, atau konsep yang sedang dipelajari dari sudut pandang kelompok etnis, budaya dan ras partisipan yang paling aktif, atau berpengaruh paling meyakinkan (Banks, 1993: 203).
Isu kurikulum esensial yang terdapat dalam reformasi kurikulum multikultural bukan penambahan dari daftar panjang dari kelompok, pahlawan, atau kontribusi etnis namun pemasukan berbagai perspektif, kerangka pikir, dan materi dari berbagai kelompok yang akan memperluas pemahaman siswa akan sifat, perkembangan, dan kompleksitas masyarakat AS. Jika siswa sedang mempelajari revolusi dari koloni Inggris, perspektif dari revolusi Anglo, loyalis Anglo, Afrika Amerika, India, dan Inggris adalah esensial bagi mereka untuk memperoleh suatu pemahaman utuh tentang peristiwa yang signifikan dalam sejarah Amerika. Siswa harus mempelajari revolusi dari berbagai kelompok yang berbeda ini untuk dipahami secara utuh.
Dalam seni bahasa, jika siswa sedang mempelajari sifat bahasa Inggris Amerika, mereka seharusnya dibantu untuk memahami perbedaan bahasa dan kekayaan linguistik di Amerika Serikat dan hal-hal dari berbagai kelompok regional, kultural, dan etnis mempengaruhi perkembangan bahasa Inggris AS. Siswa seharusnya juga mengkaji bagaimana penggunaan bahasa normatif berbeda dalam konteks sosial, wilayah dan situasi. Pemakaian bahasa Inggris orang kulit hitam sesuai untuk konteks sosial dan kultural tertentu dan tidak cocok untuk yang lain. Ini juga benar bagi bahasa Inggris AS baku. AS kaya bahasa dan dialek. Negara ini memiliki lebih dari 20 juta warga Hispanis. Spanyol adalah bahasa pertama sebagian besar dari mereka. Sebagian besar dari sekitar 30 juta bangsa Afrika Amerika berbicara baik dengan bahasa Inggris baku maupun bahasa Inggris kulit hitam. Perbedaan bahasa yang kaya di Amerika Serikat mencakup lebih dari dua puluh lima bahasa Eropah, Asia, Afrika, dan bahasa Timur Tengah, serta bahasa Indian Amerika. Sejak tahun 1970-an, bahasa dari Indo China, digunakan berbicara oleh kelompok seperti orang Hmong, Vietnam, Laos, dan Kamboja, lebih memperkaya perbedaan bahasa di Amerika Serikat.
Jika mempelajari musik, tari, dan sastra, guru seharusnya memperkenalkan siswa dengan bentuk-bentuk seni di antara etnis AS yang amat berpengaruh dan memperkaya tradisi seni dan sastra negara ini. Hal-hal yang berkaitan dengan musikus Afrika Amerika seperti Bessie Smith, W.C. Handy, dan Leontyne Price yang telah mempengaruhi sifat dan perkembangan musik AS seharusnya dikaji saat mempelajari perkembangan musik AS. Orang Afrika Amerika dan Puerto Rico  mempengaruhi perkembangan tarian orang Amerika. Penulis dari orang kulit berwarna seperti Langston Hughes, N. Scott Momaday, Carlos Bulosan dan lain-lain bukan hanya telah mempengaruhi secara signifikan perkembangan sastra Amerika, namun juga memberikan perspektif unik dan menampakkan sastra dan masyarakat Amerika.
Jika mempelajari sejarah, bahasa, musik, seni, sains, dan matematika AS, penekanan seharusnya bukan pada cara-cara di mana berbagai kelompok etnis dan budaya itu telah berkontribusi pada aliran utama budaya dan masyarakat AS. Lebih dari itu, penekanan seharusnya pada bagaimana budaya dan masyarakat AS pada umumnya muncul dari sintesis dan interaksi kompleks dari elemen budaya yang berbeda yang asalnya dari berbagai kelompok budaya, ras, etnis, dan agama yang membentuk masayarakat Amerika. Banks menyebut proses ini multiple acculturation dan berpendapat bahwa sekalipun Anglo-Saxon Protestan adalah kelompok dominan di Amerika Serikat secara kultural, politis, dan ekonomis, akan terjadi salah pengertian dan tidak akuratlah untuk menggambarkan budaya dan masyarakat AS sebagai budaya Anglo-Saxon Protestan. Kelompok etnis dan budaya AS yang lain amat mempengaruhi, membentuk, dan berpartisipasi dalam perkembangan dan pembentukan masyarakat dan budaya AS. Orang Afrika Amerika, misalnya, amat mempengaruhi perkembangan budaya AS selatan, sekalipun mereka hanya memiliki sedikit kekuasaan politik dan ekonomi.
Konsepsi akulturasi ganda (a multiple acculturation conception) dari masyarakat dan budaya AS mengarah pada perspektif bahwa memandang peristiwa etnis, sastra, musik, dan seni sebagai bagian integral dari yang membentuk budaya AS secara umum. Budaya WASP hanya dipandang sebagai bagian dari keseluruhan budaya yang lebih besar. Jadi mengajari sastra Amerika tanpa melibatkan penulis kulit berwarna yang signifikan memberikan pandangan yang parsial dan tidak lengkap tentang sastra, budaya, dan masyarakat AS.
4.      Pendekatan Aksi Sosial
Pendekatan Aksi Sosial (the Social Action Approach) mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi namun menambahkan komponen yang mempersyaratkan siswa membuat keputusan dan melakukan aksi yang berkaitan dengan konsep, isu, atau masalah yang dipelajari dalam unit. Tujuan utama dari pengajaran dalam pendekatan ini adalah mendidik siswa melakukan untuk kritik sosial dan perubahan sosial dan mengajari mereka ketrampilan pembuatan keputusan. Untuk memperkuat siswa dan membantu mereka memperoleh kemanjuran politis, sekolah seharusnya membantunya menjadi kritikus sosial yang reflektif dan partisipan yang terlatih dalam perubahan sosial. Tujuan tradisional dari persekolahan yang telah ada adalah untuk mensosialisasi siswa sehingga mereka menerima tanpa bertanya ideologi, lembaga, dan praktek yang ada dalam masyarakat dan negara.
Pendidikan politik di Amerika Serikat secara tradisional meningkatkan kepasifan politik daripada aksi politik. Tujuan utama dari pendekatan aksi sosial adalah untuk membantu siswa memperoleh pengetahuan, nilai, dan ketrampilan yang mereka butuhkan untuk berpartisipasi dalam perubahan sosial sehingga kelompok-kelompok ras dan etnis yang terabaikan dan menjadi korban ini dapat menjadi berpartisipan penuh dalam masyarakat AS dan negara akan lebih dekat dalam mencapai ide demokrasi. Untuk berpartisipasi secara efektif dalam perubahan sosial yang demokratis, siswa harus diajar kritik sosial dan harus dibantu untuk memahami inkonsistensi antara ideal dan realitas sosial, kegiatan yang harus dilakukan untuk mendekatkan jurang pemisah ini, dan bagaimana siswa, sebagai individu dan kelompok, dapat mempengaruhi sistem politik dan sosial pada masyarakat AS. Dalam pendekatan ini, pengajar adalah agen perubahan sosial (agents of social change) yang meningkatkan nilai-nilai demokratis dan kekuatan siswa.
Empat pendekatan untuk integrasi materi multikultural ke dalam kurikulum sering dipadukan dalam situasi pengajaran aktual. Satu pendekatan, seperti pendekatan kontribusi, dapat dipakai sebagai wahana untuk bergerak ke yang lain, yang lebih menantang secara intelektual seperti pendekatan transformasi dan pendekatan aksi sosial. Tidak realistis untuk mengharapkan guru berpindah secara langsung dari kurikulum yang amat berpusat pada aliran utama ke pendekatan yang berfokus pada pembuatan keputusan dan aksi sosial. Pergerakan dari tahap awal ke tahap lebih tinggi dalam mengintegrasikan materi multikultural dapat terjadi secara bertahap dan kumulatif. Tahap-tahap perkembangannya akan dibahas dalam unit 6.
Guru yang memiliki kurikulum yang berpusat pada aliran utama mungkin memakai peringatan ulang tahun Martin Luther King sebagai kesempatan untuk mengintegrasikan kurikulum dengan materi etnis, di samping memikirkan secara serius tentang bagaimana materi tentang orang Afrika Amerika dan kelompok etnis yang lain dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum secara berangsur-angsur.

BAB III
SIMPULAN SARAN
A.    Simpulan
Pendekatan yang mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum :
1.      Pendekatan kontribusi (the contributions approach)
Pendekatan ini digunakan jika sekolah mencoba mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum aliran utama. Persyaratan implementasi pendekatan ini adalah minimal yang hanya mencakup pengetahuan dasar mengenai masyarakat AS dan pengetahuan tentang pahlawan etnis dan peranan dan kontribusinya terhadap masyarakat dan budaya AS.

2.      Pendekatan Aditif (Additive Approach)
Pendekatan aditif memungkinkan pengajar untuk memasukkan materi etnis ke dalam kurikulum tanpa restrukturisasi, suatu proses yang akan memakan waktu, usaha, latihan dan pemikiran kembali dari maksud, sifat dan tujuan kurikulum yang substansial. Pendekatan aditif dapat menjadi fase awal dalam upaya reformasi kurikulum transformatif yang didesain untuk menyusun kembali kurikulum total dan untuk mengintegrasikannya dengan materi, perspektif dan kerangka pikir etnis.

3.      Pendekatan Transformasi (The transformation approach)
Pendekatan transformasi  mengubah asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi siswa dalam melihat konsep, isu, tema dan problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis.

4.      Pendekatan Aksi Sosial (the Social Action Approach)
Pendekatan ini mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi namun menambahkan komponen yang mempersyaratkan siswa membuat keputusan dan melakukan aksi yang berkaitan dengan konsep, isu, atau masalah yang dipelajari dalam unit. Tujuan utama dari pengajaran dalam pendekatan ini adalah mendidik siswa melakukan untuk kritik sosial dan perubahan sosial dan mengajari mereka ketrampilan pembuatan keputusan. Untuk memperkuat siswa dan membantu mereka memperoleh kemanjuran politis.

 B.     Saran
Dengan adanya pendidikan multicultural semoga warga Indonesia semakin memahami kebudayaan yang kita miliki. Guru sebagai fasilitator harus membantu murid untuk mencapai tingkat pemahamannya.

 DAFTAR PUSTAKA


Sutarno.2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Yaqin, M. Ainul.2005. Pendidikan Multikultural; cross-cultural understanding untuk Demokrasi dan Keadilan.Yogyakarta: Pilar Media.

Adiplampang. (2010, 9 Desember) . Metode dan Pendidikan Multikultural.
Diperoleh 21 September 2013, dari http://andiplampang.wordpress.com/
2010/12/09/metode-dan-pendekatan-pendidikan-multikultural/


0 komentar:

Next Prev
▲Top▲