BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kurikulum
menjadi faktor yang menentukan dalam Pendidikan Multikultural. Di
sekolah-sekolah Amerika Serikat terdapat berbagai pendekatan dalam melakukan
reformasi kurikulum multikultural. Dalam makalah ini akan diuraikan berbagai
pendekatan Pendidikan Multikultural, khususnya di Amerika Serikat. Setiap
negara, termasuk Indonesia mempunyai permasalahan unik yang berbeda-beda, namun
ada sejumlah permasalahan yang sama dan kita bisa banyak belajar dari negara
lain, termasuk Amerika Serikat yang sudah lama mendalami dan mengembangkannya.
Kita tahu bahwa Perintis Pendidikan Multikultural berasal dari negara ini.
Berikut ini akan kita telaah bersama-sama perkembangan kurikulum untuk
Pendidikan Multikultural.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang
masalah tersebut, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah bentuk-bentuk dari kurikulum yang berpusat
pada paham budaya utama?
2.
Bagaimanakah upaya menyusun kurikulum multikultural?
3.
Apa sajakah tahap-tahap integrasi materi multikultural ke
dalam kurikulum?
C. Tujuan
Tujuan
dalam penyusunan makalah ini yaitu untuk mengetahui:
1.
Kurikulum yang berpusat pada paham budaya utama.
2.
Upaya menyusun kurikulum multikultural.
3.
Tahap-tahap integrasi materi multikultural ke dalam
kurikulum.
D. Manfaat
Hasil dari penulisan makalah ini
diharapkan dapat memberikan manfaat kepada semua pihak untuk menambah
pengetahuan dan wawasan mengenai bentuk-bentuk kurikulum yang berpusat pada
paham budaya utama. Selain itu, penyusunan makalah ini diharapkan dapat
memberikan manfaat untuk menambah pengetahuan dalam upaya penyusunan kurikulum
multikultural serta pendekatan-pendekatan yang mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kurikulum Berpusat
Pada Paham Budaya Utama
Banks (dalam Sutarno, 2007: 2-13) mengemukakan bahwa:
‘Amerika Serikat terbentuk dari berbagai
kelompok ras, etnis, agama, dan budaya yang berbeda. Sebagian besar kurikulum
sekolah, buku teks, dan materi pelajaran kurang memberi perhatian pada kelompok
ini. Bahkan, sebagian besar kurikulum, buku teks, dan materi pelajaran lebih berfokus
pada White Anglo-Saxon Protestants.’
Kelompok budaya yang dominan di masyarakat AS
ini sering disebut aliran utama budaya orang Amerika. Kurikulum yang hanya
berfokus pada aliran utama (budaya dominan) Amerika dan mengabaikan pengalaman,
budaya dan sejarah dari kelompok etnis, ras, budaya dan agama yang lain akan memiliki
konsekuensi yang negatif. Konsekuensi negatif bagi siswa Amerika dari aliran
utama maupun siswa dari kulit berwarna yang bukan termasuk dalam kelompok
dominan ini. James A. Banks berpendapat bahwa kurikulum yang berpusat pada
aliran utama (a mainstream-centric curriculum) ini justru dapat menjadi satu
cara utama yang memperkuat rasisme dan etnosentrisme dan hal ini
diabadikan di sebagian besar sekolah dan di masyarakat Amerika. Kurikulum
berpusat pada aliran utama memiliki konsekuensi negatif terhadap siswa dari
aliran utama karena kurikulum ini memperkokoh rasa superioritas yang
keliru (false sense of superiority), memberi mereka konsepsi yang salah tentang
hubungan mereka dengan kelompok ras dan etnis lainnya, dan menolak kesempatan
memperoleh manfaat dari pengetahuan, perspektif, dan kerangka pikir yang dapat
diperoleh dari mengkaji dan mengalami budaya dan kelompok lain. Kurikulum
yang berpusat pada aliran utama juga mengabaikan kesempatan siswa Amerika
aliran utama untuk melihat kebudayaan mereka dari sudut pandang budaya lain. Jika
orang melihat kebudayaan mereka dari sudut pandang budaya lain, mereka dapat
memahami budayanya sendiri secara lebih utuh. Dengan demikian mereka dapat
melihat bagaimana keunikannya dan perbedaanya dari budaya lain, dan memahami
secara lebih baik bagaimana budaya itu berhubungan dan berinteraksi dengan
budaya lainnya.
Kurikulum berpusat aliran utama berpengaruh
secara negatif terhadap siswa kulit berwarna, seperti orang Afrika-Amerika,
Hispanis, dan Asia-Amerika. Kurikulum itu mengabaikan pengalaman dan budaya
mereka dan tidak menggambarkan impian, harapan, dan perspektif kelompok yang
tidak termasuk aliran utama ini. Siswa akan dapat belajar secara maksimal
dan amat termotivasi jika kurikulum sekolah menggambarkan budaya, pengalaman,
dan perspektif mereka. Beberapa siswa kulit berwarna diasingkan di sekolah
tempat dia belajar karena mereka mengalami konflik budaya dan diskontinuitas
yang disebabkan perbedaan budaya antara sekolah dengan masyarakat mereka.
Sekolah dapat membantu untuk menjadi juru penengah antara budaya rumah dan
sekolah dari siswa kulit berwarna dengan mengimplementasikan kurikulum yang
menggambarkan budaya dari kelompok dan komunitas etnis mereka. Sekolah dapat
dan seharusnya mengefektifkan penggunaan budaya masyarakat dari siswa kulit
berwarna saat mengajari mereka seperti mata pelajaran menulis, seni, bahasa,
sains dan matematika.
Pada pendekatan berpusat aliran utama,
peristiwa, tema, konsep, dan isu dipandang terutama dari perspektif kelas
menengah Anglo-Amerika dan Eropah. Perkembangan peristiwa dan budaya seperti
eksplorasi orang Eropah di Amerika dan perkembangan musik Amerika dipandang
dari perspektif Anglo dan Eropah dan dievaluasi dengan menggunakan kriteria dan
sudut pandang dari aliran utama.
Jika eksplorasi orang Eropah atas Amerika
dipandang dari perspektif berpusat-Eropah, Amerika dipandang sebagai
“ditemukan” oleh penjelajah Eropah seperti Columbus dan Cortes. Pandangan bahwa
penduduk asli di Amerika diketemukan oleh orang Eropah menyiratkan bahwa budaya
Indian tidak ada hingga mereka “ditemukan” oleh orang Eropah. Sesudah itu orang
Eropah menempati dan mengklaim bahwa tanah itu yang didiami oleh Indian Amerika
itu menjadi pemilik yang sah (rightfully owner). Pandangan Anglosentris, yang
mengabaikan keberadaan kelompok Indian Amerika ini sangat mewarnai gaya
penulisan. Dengan pilihan kata seperti yang mendiami (settlers), dan pemberontakan
(rebelled), penulis menjustifikasi pengambilan tanah Indian dan
menggambarkan perlawanan mereka sebagai pemberontakan. Ini yang tidak masuk
akal. Bandingkan dengan peristiwa Perang Kemerdekaan I dan II yang terjadi
sekitar tahun 1947 dan 1948. Oleh pemerintah Hindia Belanda, peperangan itu
dianggap sebagai aksi polisional. Jadi “perang kemerdekaan itu” dipandang
sebagai aksi polisi yang mengatasi kekacauan.
Jika bentuk dan sifat pengembangan budaya AS
seperti musik dan tari, dipandang dari perspektif berpusat-aliran utama, bentuk
seni tertentu menjadi penting dan berarti hanya jika diakui atau dilegitimasi
oleh kritikus dan artis aliran utama. Musik dari seniman Afrika-Amerika seperti
Chuck Berry dan Little Richard tidak dipandang sebagai signifikan oleh
masyarakat aliran utama sampai penyanyi kulit putih seperti Beatles dan Rod
Stewart secara publik mengakui secara signifikan musik mereka sendiri
benar-benar dipengaruhi oleh seniman Afrika-Amerika. Seringkali artis kulit
putih mengakui bentuk dan inovasi budaya etnis oleh orang Asia-Amerika, Afrika
Amerika, Hispanis, dan Amerika Asli.
B. Upaya Menyusun
Kurikulum Multikultural
Sejak gerakan hak-hak sipil tahun 1960-an,
para pendidik sedang mencoba, dengan berbagai cara, mengintegrasikan kurikulum
sekolah secara lebih baik dengan materi etnis dan berupaya mengubah kurikulum
berpusat Eropah (aliran utama). Hal ini dibuktikan dengan sulitnya merumuskan
tujuan sekolah karena adanya berbagai pertimbangan yang kompleks. Ideologi Kaum
Asimilasi yang kuat yang dianut oleh sebagian besar pendidik AS adalah satu
alasan utama. Ideologi asimilasionis membuat pendidiknya sulit berpikir beda tentang
bagaimana masyarakat dan budaya AS berkembang dan memperoleh komitmen untuk
membuat kurikulum multikultural. Individu yang memiliki ideologi asimilasionis
yang kuat berpandangan bahwa peristiwa dan perkembangan paling penting di
masyarakat AS dihubungkan dengan warisan negara Inggris dan bahwa kontribusi
kelompok etnis dan budaya yang lain tidak begitu penting.
Jika pendidik mempelajari ideologi dan
konsepsi multikultural tentang budaya Amerika Serikat secara benar, maka mereka
mampu memandang arti pentingnya pengalaman dan kontribusi dari berbagai
kelompok budaya, etnis, dan religi bagi perkembangan Amerika Serikat.
Perlawanan ideologis (ideological resistance)
merupakan faktor utama yang memperlambat dan masih lambatnya perkembangan
multikultural, namun faktor lain juga mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangannya. Perlawanan politis terhadap kurikulum multikultural sangat
berkaitan dengan perlawanan ideologis. Beberapa orang yang menentang kurikulum
multikultural meyakini bahwa pengetahuan adalah kekuatan dan bahwa perspektif
multikultural masyarakat AS menantang struktur kekuatan yang ada. Jadi mereka
berpandangan bahwa kemunculan kurikulum multikultural bisa dianggap sebagai
kekuatan baru yang membahayakan eksistensi dari kelompok yang menjadi aliran
utama ini. Mereka yakin bahwa kurikulum berpusat pada aliran utama yang
dominan mendukung, memperkuat, dan membenarkan struktur sosial, ekonomi dan
politik yang ada. Kurikulum berpusat pada aliran utama berusaha
mempertahankan status quo. Sedangkan perspektif dan sudut pandang multikultural
akan membenarkan dan mempromosikan perubahan sosial dan rekonstruksi sosial.
Ada dua sisi yang berhadapan yakni kelompok aliran utama ingin mempertahankan
status quo seperti sekarang ini dan kelompok multikultural yang ingin melakukan
rekonstruksi sosial.
Pada tahun-tahun terakhir perdebatan hangat
terjadi tentang seberapa jauh kurikulum seharusnya berpusat Eropah dan Barat
dan seberapa jauh seharusnya menggambarkan perbedaan kultural, etnis dan rasial
di Amerika Serikat. Paling tidak ada tiga posisi utama yang dapat diidentifikasi dalam perdebatan ini. Tradisionalis
Barat berpendapat Barat, seperti didefinisikan dan dikonseptualisasi di
masa lampau, seharusnya menjadi fokus di dalam kurikulum sekolah dan perguruan
tinggi di Amerika Serikat dan bahkan seluruh dunia. Ahli Afrosentris berpendapat
bahwa kontribusi Afrika dan orang Afrika seharusnya mendapat penekanan yang
lebih di dalam kurikulum. Multikulturalis berpendapat bahwa sekalipun
Barat harus mendapat penekanan lebih dalam kurikulum, Barat harus mengkonseptualisasi
kembali sehingga menggambarkan kontribusi orang kulit berwarna dalam
membentuk budaya Barat. Juga mengajarkan tentang jurang pemisah antara ideal
dan realitasnya tentang rasialisme, gender, dan diskriminasi dari budaya Barat.
Multikulturalis juga yakin bahwa di samping mempelajari tentang Barat, siswa
seharusnya mempelajari kebudayaan dunia yang lain, seperti budaya di Afrika,
Asia, dan Timur Tengah, dan Amerika, termasuk seperti apa mereka adanya sebelum
bangsa Eropah datang.
Faktor lain yang memperlambat pelembagaan
kurikulum multikultural mencakup rendahnya tingkat pengetahuan tentang budaya
etnis yang dikuasai sebagian besar pendidik dan beratnya beban pelajaran yang
ada pada buku teks. Pengajar harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang
budaya etnis dan juga memiliki pengalaman mengintegrasikan materi, pengalaman,
dan sudut pandang etnis dalam kurikulum. Pengajar menceritakan pada siswanya
bahwa Columbus menemukan Amerika dan bahwa Amerika adalah suatu “dunia baru”
karena mereka hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang aneka budaya Amerika
Asli yang ada di Amerika selama lebih dari 40.000 tahun. Padahal bangsa Eropah
baru menempati Amerika dalam jumlah yang signifikan pada abad enam belas.
Beberapa studi telah menyatakan bahwa buku
teks masih menjadi sumber utama pengajaran, khususnya mata pelajaran tertentu
seperti studi sosial, membaca, dan seni bahasa. Beberapa perubahan signifikan
telah dibuat dalam buku teks sejak gerakan hak-hak sipil tahun 1960-an. Banyak
kelompok etnis dan wanita telah muncul dalam buku teks saat ini dibandingkan
masa lampau. Namun, materi tentang kelompok etnis dalam buku teks biasanya disajikan
dari perspektif aliran utama, mengandung informasi dan kepahlawanan yang
diseleksi dengan menggunakan kriteria aliran utama, dan jarang terintegrasi
secara konsisten dan total. Informasi seputar kelompok etnis biasanya dibahas
dalam unit, topik, dan bagian teks yang khusus. Mereka mendekati
pengajaran bermuatan etnis dalam cara-cara yang terpilah-pilah.
C.
Tahap-tahap
Integrasi Materi Multikultural ke dalam Kurikulum
Sejak tahun 1960-an dapat diidentifikasi ada
empat pendekatan yang mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam
kurikulum:
1.
Pendekatan Kontribusi (the contributions approach).
Level 1 ini adalah satu dari yang paling
sering dan paling luas dipakai dalam fase pertama dari gerakan kebangkitan
etnis (ethnic revival movement). Juga sering digunakan jika sekolah mencoba
mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum aliran
utama.
Ciri pendekatan kontribusi adalah dengan
memasukkan pahlawan etnis dan benda-benda budaya yang khas ke dalam kurikulum,
yang dipilih dengan menggunakan kriteria budaya aliaran utama. Jadi individu seperti
Crispus Attucks, Benjamin Bannaker, Sacajawea, Booker T. Washington, dan Cesar
Chavez sebagai pahlawan dari kelompok multikultural ditambahkan dalam
kurikulum. Mereka dibahas saat pahlawan Amerika aliran utama seperti Patrick
Henry, George Washington, Thomas Jefferson, dan John F. Kennedy dipelajari
dalam kurikulum inti. Elemen budaya yang khas seperti makanan, tari, musik dan
benda kelompok etnis dipelajari, namun hanya sedikitmemberi perhatian pada
makna dan pentingnya budaya khas itu bagi komunitas etnis.
Karakteristik penting dari pendekatan
kontribusi adalah bahwa kurikulum aliran utama tetap tidak berubah dalam
struktur dasar, tujuan, dan karakteristik. Persyaratan implementasi pendekatan
ini adalah minimal yang hanya mencakup pengetahuan dasar mengenai masyarakat
AS dan pengetahuan tentang pahlawan etnis dan peranan dan kontribusinya
terhadap masyarakat dan budaya AS. Individu yang menentang ideologi, nilai dan konsepsi masyarakat yang dominan
dan yang mendukung reformasi sosial, politik, dan ekonomi radikal jarang
dimasukkan dalam pendekatan kontribusi. Jadi Booker T. Washington lebih
mungkin dipilih untuk studi dibandingkan dengan W.E.B Du Bois, dan Sacajawea
lebih mungkin dipilih daripada Geronimo. Kriteria yang dugunakan untuk
memilih pahlawan etnis untuk dipelajari dan penentuan keberhasilan
perjuangannya berasal dari masyarakat aliran utama dan bukan dari komunitas
etnis. Akibatnya, pemakaian pendekatan kontribusi biasanya menghasilkan
studi tentang pahlawan etnis yang hanya menggambarkan satu perspektif penting
dalam komunitas etnis. Dalam pendekatan kontribusi, individu yang lebih radikal
dan kurang konformis yang hanya menjadi pahlawan bagi komunitas etnis cenderung
untuk diabaikan dalam buku teks, materi pembelajaran dan aktivitas yang dipakai.
Pendekatan kepahlawanan dan hari libur adalah
varian dari pendekatan kontribusi. Dalam pendekatan ini, materi etnis terutama
terbatas pada hari, minggu dan bulan spesial yang berhubungan dengan peristiwa
dan peringatan etnis. Cinco de Mayo, HUT Martin Luther King, dan Minggu Sejarah
Afrika Amerika merupakan contoh hari dan minggu etnis yang diperingati di
sekolah. Selama perayaan ini, pengajar melibatkan siswa dalam pelajaran,
pengalaman, dan pawai sejarah yang berkaitan dengan kelompok etnis yang sedang
diperingati. Ketika pendekatan ini digunakan, kelas mempelajari sedikit atau
tidak sama sekali tentang kelompok etnis sebelum atau sesudah peristiwa atau
kesempatan khusus itu.
Pendekatan kontribusi memberi kesempatan pada
guru untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum secara cepat dengan
memberi pengenalan tentang kontribusi etnis terhadap masyarakat dan budaya AS.
Pengajar yang komit untuk mengintegrasikan materi etnis ke dalam kurikulum
hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang kelompok etnis dan hanya sedikit
merevisi kurikulum.
Akibatnya, mereka menggunakan pendekatan
kontribusi saat mengajarkan tentang kelompok etnis. Guru-guru ini seharusnya mendorong, mendukung, dan
memberi kesempatan untuk mempelajari pengetahuan dan ketrampilan yang
diperlukan untuk mereformasi kurikulumnya dengan menggunakan satu atau beberapa
pendekatan yang efektif.
Seringkali ada tuntutan politik yang kuat
dari komunitas etnis terhadap sekolah untuk mencantumkan pahlawan, kontribusi
dan budaya mereka ke dalam kurikulum sekolah. Kekuatan politik ini dapat
mengambil bentuk tuntutan atas pahlawan dan kontribusi pahlawan dari kelompok
mereka karena pahlawan aliran utama seperti Washington, Jefferson, dan Lincoln
sangat nampak dalam kurikulum sekolah. Masyarakat etnis kulit berwarna ingin
melihat pahlawan dan kontribusi mereka sendiri berdampingan dengan masyarakat
aliran utama. Kontribusi tersebut dapat membantu mereka merasa dicantumkan
(inklusi struktural), teruji, dan persamaan. Inklusi kurikulum juga
memfasilitasi penelitian tentang kelompok etnis dan budaya yang menjadi korban
kekuatan dan kekuasaan yang ada saat ini.
Pendekatan kontribusi juga merupakan
pendekatan paling awal bagi pengajar untuk digunakan untuk mengintegrasikan
materi etnis ke dalam kurikulum. Namun, pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan
serius. Jika integrasi kurikulum dilengkapi terutama dengan memasukkan pahlawan
dan kontribusi etnis, siswa tidak memperoleh pandangan global tentang
peranan kelompok etnis dan budaya di masyarakat AS. Lebih dari itu, mereka
melihat isu dan peristiwa etnis terutama sebagai tambahan terhadap kurikulum
dan akibatnya budaya itu hanya berkedudukan sebagai tempelan terhadap sejarah
utama perkembangan bangsa dan terhadap kurikulum inti dari seni bahasa, studi
sosial, seni, dan bidang pelajaran yang lain.
Pengajaran isu etnis dengan menggunakan
kepahlawanan dan kontribusi juga cenderung untuk mengabaikan konsep dan isu
penting yang berkaitan dengan korban dan penindasan dari kelompok enis dan
perjuangan melawan rasisme dan kekuasaan. Isu seperti ras, kemiskinan, dan
penindasan cenderung dijauhi dalam pendekatan kontribusi untuk integrasi
kurikulum. Cenderung berfokus pada suatu keberhasilan dan pengesahan dari mitos
Horatio Alger bahwa semua orang Amerika yang berkemauan untuk bekerja keras
dapat beranjak dari miskin menjadi kaya dan menaikkan sendiri dengan usaha
mereka sendiri.
Kisah keberhasilan dari sejarah etnis seperti
Booker T. Washington George Washington Carver, dan Jackie Robinson, biasanya
diceritakan dengan fokus pada kesuksesan mereka, dengan sedikit perhatian pada
rasisme dan hambatan lain yang mereka hadapi dan bagaimana mereka berhasil
mengatasi rintangan yang mereka hadapi. Siswa seharusnya belajar tentang proses
seseorang menjadi pahlawan di samping tentang status dan peranannya sebagai pahlawan.
Hanya jika siswa mempelajari proses individu menjadi pahlawan akan membuat
mereka memahami secara utuh bagaimana individu, khususnya individu kulit
berwarna, mencapai dan mempertahankan status pahlawan dan proses menjadi
pahlawan apa yang berarti bagi kehidupan mereka sendiri.
Pendekatan kontribusi seringkali menghasilkan
peremehan budaya etnis, studi tentang karakteristik aneh dan eksotis mereka,
dan penguatan stereotipe dan salah konsepsi. Jika fokusnya adalah pada
kontribusi dan aspek unik dari budaya etnis, siswa tidak terbantu untuk
memandangnya sebagai keseluruhan yang lengkap dan dinamis. Pendekatan
kontribusi juga cenderung berfokus pada gaya kelompok etnis daripada
struktur lembaga seperti rasisme dan diskriminasi, yang secara kuat mempengaruhi
kesempatan hidup mereka dan tetap membuatnya lemah dan terpinggirkan.
Pendekatan kontribusi terhadap integrasi
materi dapat memberi siswa dengan pengalaman sesaat yang dapat diingat dengan
pahlawan etnis, namun seringkali gagal untuk membantunya memahami peran dan
pengaruh pahlawan itu dalam konteks keseluruhan dari sejarah dan masyarakat
Amerika. Jika pahlawan etnis dipelajari terpisah dan menjadi bagian dari
konteks sosial dan politis di mana mereka hidup dan bekerja, siswa hanya
memperoleh pemahaman parsial tentang peranan dan signifikannya dalam
masyarakat. Jika Martin Luther King, Jr. dipelajari di luar konteks sosial dan
politik rasisme pelembagaan di AS Selatan pada tahun 1940 dan 1950 an, dan
tanpa perhatian yang lebih tajam dari rasisme pelembagaan di Utara selama
periode ini, signifikansi utuhnya sebagai pembaharu sosial tidak ternyatakan
ataupun dimengerti oleh siswa.
2.
Pendekatan Aditif (Additive Approach)
Tahap kedua Pendekatan penting lain terhadap
integrasi materi etnis terhadap kurikulum adalah penambahan materi, konsep,
tema dan perspektif terhadap kurikulum tanpa mengubah struktur, tujuan dan
karateristik dasarnya. Pendekatan Aditif (Tahap 2) ini sering dilengkapi
dengan penambahan suatu buku, unit, atau bidang terhadap kurikulum tanpa mengubahnya
secara substansial. Contoh pendekatan ini meliputi penambahan buku seperti The
Color Purple pada suatu unit tentang abad duapuluh, penggunaan film Miss
Jane Patman selama unit tentang 1960-an, dan penambahan tentang suatu unit
pada tawanan Jepang Amerika selama studi Perang Dunia II di sebuah kelas
sejarah Amerika Serikat.
Pendekatan aditif memungkinkan pengajar untuk
memasukkan materi etnis ke dalam kurikulum tanpa restrukturisasi, suatu proses
yang akan memakan waktu, usaha, latihan dan pemikiran kembali dari maksud,
sifat dan tujuan kurikulum yang substansial. Pendekatan aditif dapat menjadi
fase awal dalam upaya reformasi kurikulum transformatif yang didesain untuk
menyusun kembali kurikulum total dan untuk mengintegrasikannya dengan materi, perspektif
dan kerangka pikir etnis.
Namun pendekatan ini memiliki beberapa
kelemahan seperti dari pendekatan kontribusi. Yang paling penting adalah
pandangan tentang materi etnis dari perspektif sejarawan, penulis, artis, dan
ilmuwan aliran utama yang tidak memerlukan restrukturisasi kurikulum.
Peristiwa, konsep, isu, dan masalah yang diseleksi untuk studi diseleksi dengan
menggunakan kriteria dan perspektif Eurosentris dan aliran utama sentris. Jika
mengajar suatu unit seperti Gerakan Barat pada kelas sejarah di AS kelas 5,
guru dapat mengintegrasikan unit dengan menambahkan materi tentang Oglala Sioux
Indian. Namun, unit tetap berpusat dan difokuskan pada aliran utama. Suatu unit
disebut Gerakan Barat dan Eropah sentris sebagai aliran utama karena berfokus pada
orang Eropah Amerika dari bagian Timur ke Barat Amerika Serikat. Oglala Sioux
telah ada di Barat dan akibatnya tidak bergerak menuju ke barat. Unit mungkin
menyebut Invasi dari Timur, dari sudut pandang Oglala Sioux. Black Elk, orang
suci Oglala Sioux, mengeluhkan pemusnahan orang-orangnya yang berpuncak pada
kekalahan mereka di Wounded Knee Creek pada 29 Desember 1890. Kurang lebih 200
laki, perempuan, dan anak Sioux terbunuh oleh pasukan AS. Black Elk
berkata,”Ranting-ranting bangsa (Sioux) patah dan terpencar. Tidak ada lagi
pusat, dan pohon yang dikeramatkan telah mati.”
Black Elk tidak memandang tanahnya “Barat,”
tetapi lebih pada pusat dunia. Ia memandang arah utama secara metafisik. Jika
mengajar tentang gerakan orang Eropah melintasi Amerika Utara , pengajar
seharusnya membantu siswa memahami bahwa kelompok budaya, ras, dan etnis yang
berbeda sering memiliki konsepsi dan sudut pandang yang berbeda dan
bertentangan atas peristiwa sejarah, konsep, isu, dan perkembangan yang sama.
Pemenang dan yang ditundukkan seringkali memiliki konsep yang berlawanan atas
peristiwa sejarah yang sama. Namun, biasanya sudut pandang pemenang yang
terlembagakan dalam sekolah dan masyarakat aliran utama. Ini terjadi karena
sejarah dan buku teks biasanya ditulis oleh orang yang menang perang dan
memperoleh keuntungan untuk mengontrol masyarakat, dan bukan oleh yang kalah –
korban dan lemah. Perspektif dari kedua kelompok perlu untuk membantu kita
memahami secara penuh sejarah, budaya dan masyarakat kita.
Orang yang ditaklukkan dan orang yang
menaklukkan memiliki sejarah dan budaya yang saling menjalin dan saling
berhubungan secara berbelit-belit. Mereka harus mempelajari masing-masing
sejarah dan budaya yang lain untuk memahaminya secara utuh. Pendekatan
aditif gagal membantu siswa melihat masyarakat dari perspektif budaya dan etnis
yang berbeda dan memahami cara yang saling berhubungan sejarah dan budaya dari
kelompok etnis, ras, budaya, dan religi yang berbeda.
Isi, materi, dan isu yang ditambahkan ke
dalam kurikulum seperti embel-embel daripada bagian integral dari unit
pelajaran dapat menjadi problematis. Problem mungkin muncul jika buku seperti The
Color Purple atau film seperti Miss Jane Pittman ditambahkan pada
unit jika siswa kekurangan konsep, latar belakang materi, dan kematangan
emosional sehubungan dengan isu dan masalah dalam materi ini. Penggunaan
efektif dari materi yang kompleks dan bermuatan emosi biasanya memerlukan guru
yang membantu siswa mempelajari secara bertahap dan berkembang, memiliki latar
belakang materi yang kuat serta memiliki kematangan sikap. Penggunaan kedua
materi ini di kelas dan sekolah yang berbeda telah menimbulkan masalah utama
bagi pengajar yang menggunakannya. Suatu kontroversi masyarakat timbul. Masalah
berkembang karena materi digunakan pada siswa yang tidak memiliki latar
belakang isi atau kepuasan sikap untuk meresponnya secara memadai. Menambahkan
materi etnis ke dalam kurikulum menurut cara yang sporadis dan terpilah-piliah
dapat menyebabkan masalah pedagogis, kesulitan bagi guru, kebingungan siswa,
dan kontroversi masyarakat.
3. Pendekatan Transformasi
Pendekatan transformasi (The transformation
approach) berbeda secara mendasar dari pendekatan kontribusi dan aditif. Pada
kedua pendekatan, materi etnis ditambahkan pada kurikukulum inti aliran utama tanpa mengubah asumsi
dasar, sifat, dan strukturnya. Dalam pendekatan transformasi ada perubahan
dalam tujuan, struktur, dan perspektif fundamental dari kurikulum.
Pendekatan transformasi (tahap 3) mengubah
asumsi dasar kurikulum dan menumbuhkan kompetensi siswa dalam melihat konsep,
isu, tema dan problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis.
Perspektif berpusat pada aliran utama adalah hanya satu di antara beberapa
perspektif darimana isu, masalah, konsep, dan isu dipandang. Tidak mungkin
dan tidak inginlah untuk melihat setiap isu, konsep, peristiwa atau masalah
dari sudut pandang setiap kelompok etnis AS. Lebih dari itu, tujuan seharusnya
memungkinkan siswa untuk melihat konsep dan isu lebih dari satu perspektif dan
melihat peristiwa, isu, atau konsep yang sedang dipelajari dari sudut pandang
kelompok etnis, budaya dan ras partisipan yang paling aktif, atau berpengaruh
paling meyakinkan (Banks, 1993: 203).
Isu kurikulum esensial yang terdapat dalam
reformasi kurikulum multikultural bukan penambahan dari daftar panjang dari
kelompok, pahlawan, atau kontribusi etnis namun pemasukan berbagai perspektif,
kerangka pikir, dan materi dari berbagai kelompok yang akan memperluas
pemahaman siswa akan sifat, perkembangan, dan kompleksitas masyarakat AS. Jika
siswa sedang mempelajari revolusi dari koloni Inggris, perspektif dari revolusi
Anglo, loyalis Anglo, Afrika Amerika, India, dan Inggris adalah esensial bagi
mereka untuk memperoleh suatu pemahaman utuh tentang peristiwa yang signifikan
dalam sejarah Amerika. Siswa harus mempelajari revolusi dari berbagai kelompok
yang berbeda ini untuk dipahami secara utuh.
Dalam seni bahasa, jika siswa sedang
mempelajari sifat bahasa Inggris Amerika, mereka seharusnya dibantu untuk
memahami perbedaan bahasa dan kekayaan linguistik di Amerika Serikat dan
hal-hal dari berbagai kelompok regional, kultural, dan etnis mempengaruhi
perkembangan bahasa Inggris AS. Siswa seharusnya juga mengkaji bagaimana
penggunaan bahasa normatif berbeda dalam konteks sosial, wilayah dan situasi.
Pemakaian bahasa Inggris orang kulit hitam sesuai untuk konteks sosial dan
kultural tertentu dan tidak cocok untuk yang lain. Ini juga benar bagi bahasa
Inggris AS baku. AS kaya bahasa dan dialek. Negara ini memiliki lebih dari 20
juta warga Hispanis. Spanyol adalah bahasa pertama sebagian besar dari mereka.
Sebagian besar dari sekitar 30 juta bangsa Afrika Amerika berbicara baik dengan
bahasa Inggris baku maupun bahasa Inggris kulit hitam. Perbedaan bahasa yang
kaya di Amerika Serikat mencakup lebih dari dua puluh lima bahasa Eropah, Asia,
Afrika, dan bahasa Timur Tengah, serta bahasa Indian Amerika. Sejak tahun
1970-an, bahasa dari Indo China, digunakan berbicara oleh kelompok seperti
orang Hmong, Vietnam, Laos, dan Kamboja, lebih memperkaya perbedaan bahasa di
Amerika Serikat.
Jika mempelajari musik, tari, dan sastra,
guru seharusnya memperkenalkan siswa dengan bentuk-bentuk seni di antara etnis
AS yang amat berpengaruh dan memperkaya tradisi seni dan sastra negara ini.
Hal-hal yang berkaitan dengan musikus Afrika Amerika seperti Bessie Smith, W.C.
Handy, dan Leontyne Price yang telah mempengaruhi sifat dan perkembangan musik
AS seharusnya dikaji saat mempelajari perkembangan musik AS. Orang Afrika
Amerika dan Puerto Rico mempengaruhi perkembangan tarian orang
Amerika. Penulis dari orang kulit berwarna seperti Langston Hughes, N. Scott
Momaday, Carlos Bulosan dan lain-lain bukan hanya telah mempengaruhi secara signifikan
perkembangan sastra Amerika, namun juga memberikan perspektif unik dan
menampakkan sastra dan masyarakat Amerika.
Jika mempelajari sejarah, bahasa, musik,
seni, sains, dan matematika AS, penekanan seharusnya bukan pada cara-cara di
mana berbagai kelompok etnis dan budaya itu telah berkontribusi pada aliran
utama budaya dan masyarakat AS. Lebih dari itu, penekanan seharusnya pada bagaimana
budaya dan masyarakat AS pada umumnya muncul dari sintesis dan interaksi
kompleks dari elemen budaya yang berbeda yang asalnya dari berbagai kelompok
budaya, ras, etnis, dan agama yang membentuk masayarakat Amerika. Banks
menyebut proses ini multiple acculturation dan berpendapat bahwa
sekalipun Anglo-Saxon Protestan adalah kelompok dominan di Amerika Serikat secara
kultural, politis, dan ekonomis, akan terjadi salah pengertian dan tidak
akuratlah untuk menggambarkan budaya dan masyarakat AS sebagai budaya
Anglo-Saxon Protestan. Kelompok etnis dan budaya AS yang lain amat
mempengaruhi, membentuk, dan berpartisipasi dalam perkembangan dan pembentukan
masyarakat dan budaya AS. Orang Afrika Amerika, misalnya, amat mempengaruhi
perkembangan budaya AS selatan, sekalipun mereka hanya memiliki sedikit
kekuasaan politik dan ekonomi.
Konsepsi akulturasi ganda (a multiple acculturation
conception) dari masyarakat dan budaya AS mengarah pada perspektif bahwa
memandang peristiwa etnis, sastra, musik, dan seni sebagai bagian integral dari
yang membentuk budaya AS secara umum. Budaya WASP hanya dipandang sebagai
bagian dari keseluruhan budaya yang lebih besar. Jadi mengajari sastra Amerika
tanpa melibatkan penulis kulit berwarna yang signifikan memberikan pandangan
yang parsial dan tidak lengkap tentang sastra, budaya, dan masyarakat AS.
4. Pendekatan Aksi Sosial
Pendekatan Aksi Sosial (the Social Action
Approach) mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi namun menambahkan
komponen yang mempersyaratkan siswa membuat keputusan dan melakukan aksi yang
berkaitan dengan konsep, isu, atau masalah yang dipelajari dalam unit. Tujuan
utama dari pengajaran dalam pendekatan ini adalah mendidik siswa melakukan
untuk kritik sosial dan perubahan sosial dan mengajari mereka ketrampilan
pembuatan keputusan. Untuk memperkuat siswa dan membantu mereka memperoleh
kemanjuran politis, sekolah seharusnya membantunya menjadi kritikus sosial yang
reflektif dan partisipan yang terlatih dalam perubahan sosial. Tujuan
tradisional dari persekolahan yang telah ada adalah untuk mensosialisasi siswa
sehingga mereka menerima tanpa bertanya ideologi, lembaga, dan praktek yang ada
dalam masyarakat dan negara.
Pendidikan politik di Amerika Serikat secara
tradisional meningkatkan kepasifan politik daripada aksi politik. Tujuan
utama dari pendekatan aksi sosial adalah untuk membantu siswa memperoleh
pengetahuan, nilai, dan ketrampilan yang mereka butuhkan untuk berpartisipasi
dalam perubahan sosial sehingga kelompok-kelompok ras dan etnis yang terabaikan
dan menjadi korban ini dapat menjadi berpartisipan penuh dalam masyarakat AS
dan negara akan lebih dekat dalam mencapai ide demokrasi. Untuk berpartisipasi
secara efektif dalam perubahan sosial yang demokratis, siswa harus diajar
kritik sosial dan harus dibantu untuk memahami inkonsistensi antara ideal dan
realitas sosial, kegiatan yang harus dilakukan untuk mendekatkan jurang pemisah
ini, dan bagaimana siswa, sebagai individu dan kelompok, dapat mempengaruhi
sistem politik dan sosial pada masyarakat AS. Dalam pendekatan ini, pengajar
adalah agen perubahan sosial (agents of social change) yang meningkatkan
nilai-nilai demokratis dan kekuatan siswa.
Empat pendekatan untuk integrasi materi multikultural ke dalam kurikulum
sering dipadukan dalam situasi pengajaran aktual. Satu pendekatan, seperti
pendekatan kontribusi, dapat dipakai sebagai wahana untuk bergerak ke yang
lain, yang lebih menantang secara intelektual seperti pendekatan transformasi
dan pendekatan aksi sosial. Tidak realistis untuk mengharapkan guru berpindah
secara langsung dari kurikulum yang amat berpusat pada aliran utama ke
pendekatan yang berfokus pada pembuatan keputusan dan aksi sosial. Pergerakan
dari tahap awal ke tahap lebih tinggi dalam mengintegrasikan materi
multikultural dapat terjadi secara bertahap dan kumulatif. Tahap-tahap
perkembangannya akan dibahas dalam unit 6.
Guru yang memiliki kurikulum yang berpusat pada aliran utama mungkin
memakai peringatan ulang tahun Martin Luther King sebagai kesempatan untuk
mengintegrasikan kurikulum dengan materi etnis, di samping memikirkan secara
serius tentang bagaimana materi tentang orang Afrika Amerika dan kelompok etnis
yang lain dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum secara berangsur-angsur.
BAB III
SIMPULAN SARAN
A. Simpulan
Pendekatan
yang mengintegrasikan materi etnis dan multikultural ke dalam kurikulum :
1.
Pendekatan kontribusi (the contributions approach)
Pendekatan
ini digunakan jika sekolah mencoba mengintegrasikan materi etnis dan
multikultural ke dalam kurikulum aliran utama. Persyaratan implementasi
pendekatan ini adalah minimal yang hanya mencakup pengetahuan dasar mengenai
masyarakat AS dan pengetahuan tentang pahlawan etnis dan peranan dan
kontribusinya terhadap masyarakat dan budaya AS.
2.
Pendekatan Aditif (Additive Approach)
Pendekatan
aditif memungkinkan pengajar untuk memasukkan materi etnis ke dalam kurikulum
tanpa restrukturisasi, suatu proses yang akan memakan waktu, usaha, latihan dan
pemikiran kembali dari maksud, sifat dan tujuan kurikulum yang substansial.
Pendekatan aditif dapat menjadi fase awal dalam upaya reformasi kurikulum
transformatif yang didesain untuk menyusun kembali kurikulum total dan untuk
mengintegrasikannya dengan materi, perspektif dan kerangka pikir etnis.
3.
Pendekatan Transformasi (The transformation
approach)
Pendekatan
transformasi mengubah asumsi dasar
kurikulum dan menumbuhkan kompetensi siswa dalam melihat konsep, isu, tema dan
problem dari beberapa perspektif dan sudut pandang etnis.
4.
Pendekatan Aksi Sosial (the Social Action Approach)
Pendekatan
ini mencakup semua elemen dari pendekatan transformasi namun menambahkan
komponen yang mempersyaratkan siswa membuat keputusan dan melakukan aksi yang
berkaitan dengan konsep, isu, atau masalah yang dipelajari dalam unit. Tujuan
utama dari pengajaran dalam pendekatan ini adalah mendidik siswa melakukan
untuk kritik sosial dan perubahan sosial dan mengajari mereka ketrampilan
pembuatan keputusan. Untuk memperkuat siswa dan membantu mereka memperoleh
kemanjuran politis.
B. Saran
Dengan adanya pendidikan
multicultural semoga warga Indonesia semakin memahami kebudayaan yang kita
miliki. Guru sebagai fasilitator harus membantu murid untuk mencapai tingkat
pemahamannya.
DAFTAR PUSTAKA
Sutarno.2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Yaqin, M. Ainul.2005. Pendidikan
Multikultural; cross-cultural
understanding untuk Demokrasi dan Keadilan.Yogyakarta: Pilar
Media.
Adiplampang. (2010, 9 Desember) . Metode dan Pendidikan Multikultural.
Diperoleh 21 September 2013, dari http://andiplampang.wordpress.com/
2010/12/09/metode-dan-pendekatan-pendidikan-multikultural/
0 komentar:
Posting Komentar