PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Bahasa
merupakan sebuah sarana yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Sesuai
dengan fungsinya, bahasa memiliki peran sebagai penyampai pesan antara manusia
satu dengan lainnya. Menurut Kridalaksana(1993: 21), bahasa adalah sistem lambang
bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk
bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Dalam kehidupan
sehari-hari, manusia pasti menggunakan bahasa untuk berinteraksi satu sama
lain. Chaer dan Agustina (2004: 14) menyatakan bahwa secara tradisional dapat
dikatakan bahwa fungsi bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau sebagai alat
komunikasi, dalam arti bahasa digunakan untuk menyampaikan informasi, perasaan,
gagasan, ataupun konsep.
Dalam
berinteraksi, diperlukan aturan-aturan yang mengatur penutur dan
lawan tutur agar nantinya dapat
terjalin komunikasi yang baik diantara keduanya. Aturan-aturan tersebut
terlihat pada prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech (1993:
206).
Dalam
berbahasa, manusia perlu memperhatikan adanya kesantunan berbahasa ketika
berkomunikasi dengan manusia lainnya. Hal itu bertujuan agar
manusia bisa menggunakan bahasa yang santun dan tidak melakukan kesalahan dalam
berbahasa.
Sebuah tuturan dikatakan santun atau
tidak, sangat tergantung pada ukuran kesantunan masyarakat penutur bahasa yang
dipakai. Tuturan dalam bahasa Indonesia secara umum sudah dianggap santun jika
penutur menggunakan kata-kata yang santun, tuturannya tidak mengandung ejekan
secara langsung, tidak memerintah secara langsung, serta menghormati orang
lain. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa ini perlu dikaji guna mengetahui seberapa
banyak kesalahan atau penyimpangan kesantunan berbahasa pada manusia ketika
berkomunikasi satu sama lain.
Dalam
berkomunikasi dengan orang lain, kesantunan berbahasa merupakan
aspek yang sangat penting untuk
membentuk karakter dan sikap seseorang. Dari penggunaan bahasa seseorang dalam
bertutur kepada orang lain, dapat diketahui karakter dan kepribadian yang
dimiliki seseorang tersebut.
- Rumusan
Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan santun berbahasa?
2. Mengapa berbahasa santun?
3. Bagaimana cara berbahasa santun?
4. Apa saja maksim-maksim kesantunan itu?
5.
Apakah prinsip kesantunan?
6.
Apa saja kesantunan linguistik
tuturan imperatif?
7.
Hal-hal apa yang menjadi kesantunan
kalimat?
8.
Apa faktor penentu kesantunan?
9.
Apa saja indikator kesantunan
berbahasa Indonesia?
10. Apa nilai-nilai pendukung kesantunan berbahasa?
11. Apa pengertian diksi atau pilihan kata?
12. Apa pengertian gaya bahasa?
- Tujuan
1. Mengetahui pengertian santun berbahasa.
2. Mengetahui alasan berbahasa santun.
3. Mengetahui cara berbahasa santun.
4. Mengidentifikasi maksim-maksim kesantunan.
5. Mengetahui prinsip kesantunan.
6. Mengetahui kesantunan linguistik tuturan imperatif.
7. Mengetahui kesantunan kalimat.
8. Mengetahui penentu kesantunan.
9. Mengetahui indikator kesantunan berbahasa.
10. Mengetahui nilai-nilai pendukung kesantunan berbahasa.
11. Mengetahui diksi atau pilihan kata.
12. Mengetahui gaya bahasa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Santun
Berbahasa
Struktur bahasa yang santun adalah
struktur bahasa yang disusun oleh penutur atau penulis agar tidak menyinggung
perasaan pendengar atau pembaca. Bahasa yang benar adalah bahasa yang dipakai
sesuai dengan kaidah yang berlaku. Seseorang sedang berkomunikasi dalam situasi
tidak resmi, mereka menggunakan kaidah bahasa tidak resmi. Ketika seseorang
sedang menulis karya ilmiah untuk makalah, skripsi, tesis, atau disertasi
mereka menggunakan kaidah bahasa baku. Jika penulis sedang memerankan tokoh
pejabat, maka bahasa yang digunakan adalah kaidah bahasa resmi. Masih ada satu
kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunan. Ketika seseorang sedang
berkomunikasi, hendaknya disampaikan baik dan benar juga santun. Kaidah
kesantunan dipakai dalam setiap tindak bahasa. Agar pemakaian bahasa terasa
semakin santu, penutur dapat berbahasa menggunakan bentuk-bentuk tertentu yang
dapat dirasa sebagai bahasa santun, seperti:
1.
Menggunakan tuturan tidak langsung
biasanya terasa lebih santun jika dibandingkan dengan tuturan yang diungkapkan
secara langsung.
2.
Pemakaian bahasa dengan kata-kata
kias terasa lebih santun dibandingkan dengan pemakaian bahasa dengan kata-kata lugas.
3.
Ungkapan memakai gaya bahasa
penghalus terasa lebih santun dibandingkan dengan ungkapan biasa.
4.
Tuturan yang dikatakan berbeda
dengan yang dimaksud biasanya tuturan lebih santun
5.
Tuturan yang dikatakan secara
implisit biasanya lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang dikatakan
secara eksplisit.
B.
Alasan
Berbahasa secara Santun
Bahasa merupakan alat komunikasi,
berkomunikasi merupakan interaksi antara penutur dengan mitra tutur. Ada tiga
hal penting ketika penutur berinteraksi dengan mitra tutur. Pertama, mitra
tutur diharapkan dapat memahami maksud yang disampaikan oleh penutur. Kedua,
setelah mitra tutur memahami maksud penutur, mitra tutur akan mencari aspek
tuturan yang lain. Ketiga, tuturan penutur kadang-kadang juga disimak oleh
orang lain (orang ketiga) yang sebenarnya tidak berkaitan langsung dengan
komunikasi antar penutur dengan mitra tutur.
Berbahasa dan berprilaku santun
merupakan kebutuhan setiap orang, bukan sekedar kewajiban. Seseorang berbahasa
dan berprilaku santun sebenarnya lebih dimaksudkan sebagai wujud aktualisasi
diri. Setiap orang harus menjaga kehormatan dan martabat diri sendiri. Hal ini
dimaksudkan agar orang lain juga mau menghargainya. Inilah hakikat berbahasa
secara santun.
C.
Cara
Berbahasa Santun
Santun tidaknya pemakaian bahasa
dapat dilihat setidaknya dari dua hal, yaitu pilihan kata (diksi) dan gaya
bahasa. Pilihan kata yang dimaksud adalah ketepatan pemakaian kata untuk
mengungkapkan makna dan maksud dalam konteks tertentu sehingga menimbulkan efek
tertentu pada pada mitra tutur. Setiap kata, di samping memiliki makna tertentu
juga memiliki daya (kekuatan) tertentu.
Kesanggupan menggunakan gaya bahasa
seorang penutur dapat terlihat tingkat kesantunannya dalam berkomunikasi. Ada
beberapa gaya bahasa yang dapat digunakan untuk melihat santun tidaknya
pemakaian bahasa dalam bertutur yaitu:
1.
Majas Hiperbola yaitu salah satu
jenis gaya bahasa perbandingan yang memperbandingkan sesuatu dengan sesuatu yang
lain secara berlebihan.
2.
Majas Perumpamaan yaitu salah satu
jenis gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal yang berlainan,
tetapi dianggap sama.
3.
Majas Metafora yaitu
salah satu jenis gaya bahasa perbandingan maupun menambah daya bahasa tuturan.
4.
Majas Eufemisme yaitu salah satu
jenis gaya bahasa perbandingan yang membandingkan dua hal dengan menggunakan pembanding
yang lebih halus.
D.
Maksim-Maksim
Kesantunan
Tarigan (1990) dan Rahardi (2003) telah menerjemahkan
maksim-maksim di dalam prinsip kesantunan berbahasa yang disampaikan oleh Leech
(1983) di atas secara berturut-turut sebagai berikut:
1.
Maksim Kebijaksanaan, kurangi
kerugian orang lain dan tambahi keuntungan orang lain
2.
Maksim Kedermawanan, kurangi
keuntungan diri sendiri dan tambahi pengorbanan diri sendiri
3.
Maksim Penghargaan, kurangi
keuntungan diri sendiri dan tambahi pengorbanan diri sendiri
4.
Maksim Kesederhanaan, kurangi pujian
pada diri sendiri dan tambahi cacian pada diri sendiri
5.
Maksim Permufakatan, kurangi
ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain dan tingkatkan kesesuaian
antara diri sendiri dengan orang lain.
6.
Maksim Simpati, kurangi antipati
antara dri sendiri dengan orang lain
Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang lain
(Tarigan, 1990: 82-83)
E.
Prinsip
Kesantunan
Menurut Rahardi (2006: 66)
sedikitnya ada tiga macam skala pengukuran peringkat kesantunan yang sampai
dengan saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian
kesantunan. Dalam prinsip kesantunan tiga skala pengukuran tersebut adalah
1.
Skala kesantunan menurut Leech
2.
Skala kesantunan menurut Brown and
Levinson
3.
Skala kesantunan menurut Robin
Lakoff
F.
Kesantunan
Linguistik Tuturan Imperatif
Menurut Rahardi (2006: 118)
kesantunan linguistik tuturan Imperatif dalam bahasa Indonesia mencakup empat
hal yaitu:
1.
Panjang-pendek tuturan
2.
Urutan tuturan
3.
Intonasi tuturan dan isyarat-isyarat
kinesik
4.
Pemakaian ungkapan penanda
kesantunan
G.
Kesantunan
Kalimat
Ninik dalam bukunya yang berjudul
Cermat dalam Berbahasa Teliti dalam Berfikir (2007:142) mengatakan bahwa ada
beberapa hal yang membuat sebuah kalimat menjadi santun. Diantaranya adalah:
1.
Kehematan
Gagasan yang tercantum dalam kalimat sering kali tidak
tersampaikan karena penggunaan kata yang boros. Sehingga semakin hemat kita
memakai kata akan semakin santun.
2.
Kecermatan
Prinsip berarti cermat dan tepat menggunakan diksi. Agar
tercapai kecermatan dan ketepatan diksi. Yang perlu dihindari adalah
penanggalan awalan, peluluhan bunyi /c/, bunyi /s/, /p/, /t/, dan /k/ yang idak
luluh, dan hindari pemakaian kata ambiggu.
3.
Kesejajaran
Agar kalimat terlihat rapi dan bermakna sama, kesejajaran
dalam kalimat diperlukan. Kesejajaran adalah penggunaan bentuk-bentuk yang sama
pada kata-kata yang berpararael.
4.
Keharmonisan
Keharmonisan adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud
lisan atau tulisan, yang menggungkapkan pikiran secara utuh, memiliki unsur
gramatikal terdapat subjek dan predikat, serta memiliki kesenyapan.
Keharmonisan kalimat artinya setiap kalimat yang kita buat harus harmonis
antara pola berfikir dan struktur bahasa.
5.
Kelogisan
Kelogisan berhubungan dengan bernalar atau tidaknya sebuah
kalimat. Kelogisan bisa terjadi karena isi kalimat atau struktur kalimat yang
dibangun.
H.
Penentu
Kesantunan
1.
Faktor Penentu Kesantunan
Faktor kesantunan adalah segala hal yang dapat memengaruhi
pemakaian bahasa menjadi santun atau tidak santun. Faktor kesantunan dari aspek
kebahasaan dapat diidentifikasi sebagai berikut. Aspek penentu kesantunan dalam
bahasa verbal lisan, antara lain aspek intonasi, aspek nada bicara, faktor
pilihan kata, dan faktor struktur kalimat.
Dalam bahasa lisan, kesantunan juga dipengaruhi oleh faktor
bahasa nonverbal, seperti gerak gerik anggota tubuh, kerlingan mata, gelengan
kepala, acungan tanggan, kepalan tangan, tangan kerkacak pinggang, dan
sebagainya. Faktor penentu kesantunan yang dapat diidentifikasi dari bahasa
verbal tulis, seperti pilihan kata yang berkaitan dengan nilai rasa, panjang
pendeknya struktur kalimat, ungkapan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Faktor penentu kesantunan dari aspek nonkebahasaab berupa
pranata sosial budaya masyarakat, pranata adat, seperti jarak bicara antara
penutur dan mitra tutur dan sebagainya.
2.
Faktor yang dapat Menggagalkan
Komunikasi
Banyak faktor yang menyebabkan komunikasi dapat gagal,
antara lain: (a) mitra tutur tidak memiliki informasi lama sebagai dasar
memahami informasi baru yang disampaikan penutur, (b) mitra tutur tidak
tertarik dengan isi informasi yang disampaikan penutur, (c) mitra tutur tidak
berkenan dengan cara menyampaikan informasi si penututur, (d) apa yang
diinginkan memang tidak ada atau tidak dimiliki oleh mitra tutur, (e) mitra
tutur tidak memahami yang dimaksud oleh penutur, dan (f) jika menjawab
pertanyaan, mitra tutur justru melanggar kode etik.
3.
Faktor Kebahasaan sebagai Penanda
Kesantunan
Faktor yang menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa
ditentukan oleh dua hal, yaitu faktor kebahasaan, dan faktor non-kebahasaa.
Faktor kebahasaan yang dimaksud adalah segala unsur yang berkaitan dengan
masalah bahasa, baik bahasa verbal maupun bahasa nonverbal. Faktor kebahasaan
verbal yang dapat menentukan kesantunan dapat dideskripsikan sebagai berikut.
(1) pemakaian diksi, (2) Pemakaian gaya bahasa (majas metafora, majas
personifikasi, majas peribahasa, majas perumpamaan).
4.
Faktor Nonkebahasaab sebagai Penentu
Kesantunan
Ketikka orang berkomunikasi, penutur tidak hanya melibatkan
faktor bahasa. Faktor-faktor nonkebahasaan juga ikut menentukan kesantunan. (1)
topik pembicaraan, (2) konteks situasi komunikasi.
I.
Indikator
Kesantunan Berbahasa Indonesia
Indikator adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah
pemakaian bahasa Indonesia si penutur itu santun ataukah tidak. Penanda-penanda
tersebut dapat berupa unsur kebahasaan maupun unsur nonkebahasaan.
1.
Indikator Kesantunan Menurut Dell
Hymes (1978), (1) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya komunikasi, (2)
mengacu pada orang yang terlibat komunikasi, (3) mengacu pada tujuan yang ingin
dicapai pada komunikasi, (4) mengacu pada bentuk dan pesan yang ingin
disampaikan, (5) mengacu pada pelaksanaan percakapan, (6) mengacu pada norma
prilaku partisipan dalam berkomunikasi, dan (7) mengacu pada ragam santai dan
sebagainya.
2.
IndikatorKesantunan Menurut Grace
(2000), menyatakan bahwa santun tidaknya pemakaian bahasa dapat ditandai dengan
beberapa hal sebagai berikut. (1) ketika berbicara harus mampu menjaga martabat
mitra tutur agar tidak merasa dipermalukan, (2) ketika berkomunikasi tidak
boleh mengaakan hal-hal yang kurang baik mengenai mitra tutur atau orang atau
barang yang ada kaitannya dengan mitra tutur, (3) tidak boleh mengungkapkan
rasa senang atas kemalangan mitra tutur, (4) tidak boleh menyatakan
ketidaksetujuan dengan mitra tutur sehingga mitra tutur merasa jatuh harga
dirinya, dan (5) tidak boleh memuji diri sendiri atau membanggakan nasib baik atau
kelebihan diri sendiri.
3.
Indikator Kesantunan Menurut Leech
(1983), memandang prinsip kesantunan sebagai ”piranti” untuk menjelaskan
mengapa penutur sering bertutur secara tidak langsung dalam mengungkapkan
maksudnya (implikatur). Meski tidak mengunakna implikatur, tuturan dapat
dikatakan santun, jika ditandai dengan hal-hal sebagai berikut. (1) tuturan
dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim kebijaksanaan), (2)
tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim kedermawanan), (3)
tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian), (4) tturan
tidak memuji diri sendiri (maksim kerendah hatian), (5) tuturan dapat
memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim kesetujuan), (6) tuturan
dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra tutur (maksim
simpati), dan (7) tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang
pada mitra tutur (maksim pertimbangan)
4.
Indikator Kesantunan Menurut Pranowo
(2005), bahwa agar komunikasi dapat terasa santun, tuturan ditandai dengan
hal-hal berikut. (1) perhatikan suasana perasaan mitra tutur (angon rasa), (2)
pertemukan perasaan Anda dengan perasaan mitra tutur (angon rasa), (3) jagalah
agar tuturan dapat diterima oleh mitra tutur (empan papan), (4) jagalah agar
tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur dihadapan mitra tutur (sifat
rendah hati), (5) jagalah agar tuturan memperlihatkan mitra tutur diposisii
lebih tinggi 9sikap hormat), dan (6) jagalah agar tuturan selalu memperhatikan
apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur (sikap tepa
selira)
5.
Implementasi Indikator Kesantunan
dalam Pemakaian Bahasa secara teoritis, semua orang harus berbahasa secara santun.
Setiap orang wajib menjaga etika dalam berkomunikasi agar tujuan komunikasi
dapat tercapai. Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dan saat menggunakan
bahasa juga harus memerhatikan kaidah-kaidah berbahasa baik kaidah linguistik
maupun kaidah kesantunan agar tujuan berkomunikasi dapat tercapai.
6.
Cara Menyampaikan Maksud, bebrapa
cara menyampaikan maksud agar tuturan dapat dikatakan santun dapat dijelaskan
sebagai berikut. (1) rasa nrima (menerima keadaan seperti adanya), (2) sikap
ngalah demi rasa solidaritas, (3) sikap ngalah demi rasa hormat, (4) sikap
tenggang rasa, (5) sikap empan papan (menyesuaikan diri dengan waktu dan
tempat).
J.
Nilai-nilai
Pendukung Kesantunan Berbahasa
Dalam berkomunikasi dengan santun,
ada beberapa nilai-nilai etnis yang dapat diterima oleh seluruh atau sebagian
besar masyarakat etnis lain dan dapat diserap untuk menumbuh kembangkan
kesantunan berbahasa. Yaitu, (a) sikap rendah hati, (b) sikap empan papan, (c)
sikap menjaga perasaan, (d) sikap mau berkorban, (e) sikap mawas diri. Dengan
nilai-nilai ini diharapkan tercipta hubungan harmonis antar sesama.
K.
Diksi
atau Pilihan Kata
Pengertian diksi atau pilihan kata
jauh lebih luas dari pada apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu.
Menurut Keraf dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa (1984:22-23),
ada tiga kesimpulan utama mengenai diksi atau pilihan kata. Pertama, pilihan
kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk
menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan kata-kata yang
tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling
baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah
kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin
disampaikan, dan kemampuan menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi
dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ketiga, pilihan
kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar
kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu.
L.
Gaya
Bahasa
1.
Pengertian Gaya Bahasa
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika
dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin slilus, yaitu
semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Walaupun kata sytle berasal
dari bahasa Latin, orang Yunani sudah mengembangkan sendiri teori-teori
mengenai style itu. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu: Aliran Platonik:
menganggap syle sebagai kualitas suatu ungkapan ; menurut mereka ada ungkapan
yang memiliki style, ada juga yang tidak memiliki style dan Aliran Aristoteles:
menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada dalam tiap
uangkapan.
Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan
kepribadian penulis (pemakai bahasa)
2.
Sendi Gaya Bahasa
Syarat-syarat manakala yang diperlukan untuk membedakan
suatu gaya bahasa yang baik dari gaya bahasa yang buruk. Dalam sebuah gaya
bahasa mengandung tiga unsur yaitu: kejujuran, sopan santun, dan menarik.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Struktur
bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur atau
penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca. Bahasa yang
benar adalah bahasa yang dipakai sesuai dengan kaidah yang berlaku.
Santun
tidaknya pemakaian bahasa dapat dilihat setidaknya dari dua hal, yaitu pilihan
kata (diksi) dan gaya bahasa. Jenis-jenis majas: Majas Hiperbola, Majas
Perumpamaan, Majas Metafora, dan Majas Eufemisme.
Maksim-maksim
kesantunan menurut Tarigan, antara lain: maksim kebijaksanaan, maksim
kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan, maksim permufakatan,
dan maksim simpati.
Tiga skala pengukuran adalah:
1.
Skala kesantunan menurut Leech
2.
Skala kesantunan menurut Brown and
Levinson
3.
Skala kesantunan menurut Robin
Lakoff
Beberapa
hal yang membuat sebuah kalimat menjadi santun. Diantaranya adalah: kehematan,
kecermatan, kesejajaran, keharmonisan, dan kelogisan.
Penentu Kesantunan:
1.
Faktor Penentu Kesantunan
2.
Faktor yang dapat Menggagalkan
Komunikasi
3.
Faktor Kebahasaan sebagai Penanda
Kesantuna
4.
Faktor Nonkebahasaab sebagai Penentu
Kesantunan
Nilai-nilai
pendukung kesantunan berbahasa antara lain: (a) sikap rendah hati, (b) sikap
empan papan, (c) sikap menjaga perasaan, (d) sikap mau berkorban, (e) sikap
mawas diri. Dengan nilai-nilai ini diharapkan tercipta hubungan harmonis antar
sesama.
Pengertian
diksi atau pilihan kata jauh lebih luas dari pada apa yang dipantulkan oleh
jalinan kata-kata itu.
B.
Saran
Kesantunan dalam berbahasa itu
penting bagi seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Hal tersebut
dilakukan untuk saling menghormati. Selain itu, bahasa yang baik dari seseorang
menggambarkan karakter orang tersebut. Melalui bahasa yang santun orang akan
lebih dihormati oleh lawan bicara. Tutur kata dan penggunaan bahasa yang santun
sangat diperlukan bagi siapa saja, khususnya bagi siswa SD yang merupakan
pembentukan karakter serta bahasa awal bagi anak. Selanjutnya, calon guru dan
guru harus memahami dan mengerti betul tentang santun berbahasa sebagai bekal
untuk mengajarkannya pada siswa SD.
DAFTAR PUSTAKA
I.G.A.K.
Wardani, dkk. 2009. Teknik Menulis Karya
Ilmiah. Jakarta : Universitas Terbuka.