Makalah Problem Pendidikan Multikultural di Indonesia

| Kamis, 06 Februari 2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problema yang dihadapi oleh  negara lain. Problem ini mencakup hal-hal kemasyarakatan yang akan dipecahkan dengan Pendidikan Multikultural dan problem yang berkaitan dengan pembelajaran berbasis budaya. Penerapan pendidikan multikultural di Indonesia masih mengalami berbagai hambatan atau problem. Problem pendidikan multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problem yang dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi, sejarah dan kemajuan sosial ekonomi dapat menjadi pemicu munculnya problem pendidikan multikultural di Indonesia.Problem tersebut dapat dijadikan bahan pengembangkan Pendidikan Multikultural di Indonesia ini.


1.2 Rumusan Masalah
Untuk mengarahkan pembahasan lebih efektif dan sistematis, maka memungkinkan untuk dibuatkan susunan sub-sub pembahasan, yakni sebagai berikut:
1.      Apa saja Problema Kemasyarakatan yang berkaitan dengan Pendididikan Multikultural yang muncul di Indonesia ?
2.      Apa faktor penyebab munculnya Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia?
3.      Bagaimana cara mengatsi Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia ?

1.3  Tujuan
1. Mengetahui Problema Kemasyarakatan apa saja yang berkaitan dengan Pendididikan Multikultural yang muncul di Indonesia
2.  Untuk mengetahui faktor penyebab munculnya Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia.
3. Untuk mengetahui cara mengatasi Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia.
 1.4  Manfaat
Manfaat dari penulian makalah dengan judul “ Problem Pendidikan Multikultural di Indonesia” yakni, kita sebagai calon guru SD dapat mengetahui, hal – hal apa saja yang bisa menjadi faktor penghambat keberlangsungan keanekaragaman atau multicultural di Indonesia. Juga dapat mengetahui bagaimana cara menyikapinya, sehingga sebagai seorang calon pendidik kita bisa mengetahui bagaimana kita mengajarkan keberagaman pada peserta didik kita.
  
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Problema Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural di Indonesia
Beberapa peristiwa budaya yang negatif dan sering muncul di tanah air seperti peristiwa di Poso, Ambon, Papua, Sampit, Aceh, Bali, Jakarta, dan lain-lain ini disebabkan oleh problema kemasyarakatan sebagai berikut:
  1. Keragaman Identitas Budaya Daerah
Keragaman ini menjadi modal sekaligus potensi konflik. Keragaman budaya daerah memang memperkaya khasanah budaya dan menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi neka budaya itu sangat berpotensi memecah belah dan menjadi lahan subur bagi konflik dan kecemburuan sosial. Masalah itu muncul jika tidak ada komunikasi antar budaya daerah. Tidak adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini justru dapat menjadi konflik. Sebab dari konflik-konflik yang terjadi selama ini di Indonesia dilatar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama dan ras. Misalnya peristiwa Sampit. Mengapa ? Keragaman ini dapat digunakan oleh provokator untuk dijadikan isu yang memancing persoalan.
Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya, diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui Pendidikan Multikultural. Dengan adanya Pendidikan Multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.
  1. Pergeseran Kekuasaan dari Pusat ke Daerah
Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan pada beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Satu di antaranya yang paling


menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orba, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi. Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan.
Konsep “putra daerah” untuk menduduki pos-pos penting dalam pemerintahan sekalipun memang merupakan tuntutan yang demi pemerataan kemampuan namun tidak perlu diungkapkan menjadi sebuah ideologi. Tampilnya putra daerah dalam pos-pos penting memang diperlukan agar putra-putra daerah itu ikut memikirkan dan berpartisipasi aktif dalam membangun daerahnya. Harapannya tentu adalah adanya asas kesetaraan dan persamaan. Namun bila isu ini terus menerus dihembuskan justru akan membuat orang terkotak oleh isu kedaerahan yang sempit. Orang akan mudah tersulut oleh isu kedaerahan. Faktor pribadi (misalnya iri, keinginan memperoleh jabatan) dapat berubah menjadi isu publik yang destruktif ketika persoalan itu muncul di antara orang yang termasuk dalam putra daerah dan pendatang.
Konsep pembagian wilayah menjadi propinsi atau kabupaten baru yang marak terjadi akhir-akhir ini selalu ditiup-tiupkan oleh kalangan tertentu agar mendapatkan simpati dari warga masyarakat. Mereka menggalang kekuatan dengan memanfaatkan isu kedaerahan ini. Warga menjadi mudah tersulut karena mereka berasal dari kelompok tertentu yang tertindas dan kurang beruntung.
  1. Kurang Kokohnya Nasionalisme
Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (“integrating force”) seluruh pluralitas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dan berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan
antara Pancasila itu dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan. Pada masa Orde Baru kebijakan dirasakan terlalu tersentralisasi. Sehingga ketika Orde Baru tumbang, maka segala hal yang menjadi dasar dari Orde Baru dianggap jelek, perlu ditinggalkan dan diperbarui, termasuk di dalamnya Pancasila. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang tetap perlu dikembangkan. Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persuasif dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peranan Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa ini.
  1. Fanatisme Sempit
Fanatisme dalam arti luas memang diperlukan. Namun yang salah adalah fanatisme sempit, yang menganggap menganggap bahwa kelompoknyalah yang paling benar, paling baik dan kelompok lain harus dimusuhi. Gejala fanatisme sempit yang banyak menimbulkan korban ini banyak terjadi di tanah air ini. Gejala Bonek (bondo nekat) di kalangan suporter sepak bola nampak menggejala di tanah air. Kecintaan pada klub sepak bola daerah memang baik, tetapi kecintaan yang berlebihan terhadap kelompoknya dan memusuhi kelompok lain secara membabi buta maka hal ini justru tidak sehat. Terjadi pelemparan terhadap pemain lawan dan pengrusakan mobil dan benda-benda yang ada di sekitar stadion ketika tim kesayangannya kalah menunjukkan gejala ini.
Kecintaan dan kebanggaan pada korps memang baik dan sangat diperlukan. Namun kecintaan dan kebanggaan itu bila ditunjukkan dengan bersikap memusuhi kelompok lain dan berperilaku menyerang kelompok lain maka fanatisme sempit ini menjadi hal yang destruktif. Terjadinya perseteruan dan perkelahian antara oknum aparat kepolisian dengan oknum aparat tentara nasional Indonesia yang kerap terjadi di tanah air ini juga merupakan contoh dari fanatisme sempit ini. Apalagi bila fanatisme ini berbaur dengan isu agama (misalnya di Ambon, Maluku dan Poso, Sulawesi Tengah), maka akan dapat menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa.



  1. Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural
Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, kita pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerah kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan anti pati terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa. Untunglah perbedaan pendapat ini dapat diselesaikan dengan damai dan beradab. Kini, semua pihak yang bertikai sudah bisa didamaikan dan diajak bersama-sama membangun daerah yang porak poranda akibat peperangan yang berkepanjangan dan terjangan Tsunami ini.
Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini. Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Namun ada gejala ke arah penyelesaian damai dan multikultural yang terjadi akhir-akhir ini. Salah seorang panglima perang OPM yang menyerahkan diri dan berkomitmen terhadap negara kesatuan RI telah mendirikan Kampung Bhineka Tunggal Ika di Nabire, Irian Jaya. Uraian lebih lanjut mengenai Kampung Bhineka Tunggal Ika ini akan dibahas pada Unit 5. Jelaskan mengapa nama Irian Jaya diganti dengan nama Papua ? Persoalan budaya apa yang melatar belakanginya ? Carilah di internet informasi mengenai hal ini.

  1. Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya
Kejadian yang nampak bernuansa SARA seperti Sampit beberapa waktu yang lalu setelah diselidiki ternyata berangkat dari kecemburuan sosial yang melihat warga pendatang memiliki kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik dari warga asli. Jadi beberapa peristiwa di tanah air yang bernuansa konflik budaya ternyata dipicu oleh persoalan kesejahteraan ekonomi.

Keterlibatan orang dalam demonstrasi yang marak terjadi di tanah air ini, apapun kejadian dan tema demonstrasi, seringkali terjadi karena orang mengalami tekanan hebat di bidang ekonomi. Bahkan ada yang demi selembar kertas duapuluh ribu orang akan ikut terlibat dalam demonstrasi yang dia sendiri tidak mengetahui maksudnya. Sudah banyak kejadian yang terungkap di media massa mengenai hal ini.
Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkhis ketika himpitan ekonomi yang mendera mereka. Mereka akan menumpah kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Hal ini nampak dari gejala perusakan mobil-mobil mewah yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggung dalam berbagai peristiwa di tanah air ini. Mobil mewah menjadi simbol kemewahan dan kemapanan yang menjadi kecemburuan sosial bagi kelompok tertentu sehingga akan cenderung dirusak dalam peristiwa kerusuhan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita jumpai mobil-mobil mewah yang dicoreti dengan paku ketika mobil itu diparkir di daerah tertentu yang masyarakatnya banyak dari kelompok tertindas ini.

  1. Keberpihakan yang salah dari Media Massa, khususnya televisi swasta dalam memberitakan peristiwa.
Di antara media massa tentu ada ideologi yang sangat dijunjung tinggi dan dihormati. Persoalan kebebasan pers, otonomi, hak publik untuk mengetahui hendaknya diimbangi dengan tanggung jawab terhadap dampak pemberitaan. Mereka juga perlu mewaspadai adanya pihak-pihak tertentu yang pandai memanfaatkan media itu untuk kepentingan tertentu,yang justru dapat merusak budaya Indonesia. Kasus perselingkuhan artis dengan oknum pejabat pemerintah yang banyak dilansir media massa dan tidak mendapat “hukuman yang setimpal” baik dari segi hukum maupun sangsi kemasyarakatan dapat menumbuhkan budaya baru yang merusak kebudayaan yang luhur. Memang berita semacam itu sangat layak jual dan selalu mendapat perhatian publik, tetapi kalau terus-menerus diberitakan setiap hari mulai pagi hingga malam hari maka hal ini akan dapat mempengaruhi orang untuk menyerap nilai-nilai negatif yang bertentangan dengan budaya ketimuran. Kasus perceraian rumah tangga para artis yang tiap hari diudarakan dapat membentuk opini publik yang negatif. Sehingga kesan kawin cerai di antara artis itu sebagai budaya baru dan menjadi trend yang biasa dilakukan. Orang menjadi kurang menghormati lembaga perkawinan. Sebaiknya isu kekayaan tidak menjadi isu yang selalu menjadi tema sinetron karena dapat mendidik orang untuk terlalu mengagungkan materi dan menghalalkan segala cara. Begitu juga tampilan yang seronok mengundang birahi, pengudaraan modus kejahatan baru atau pun iklan yang bertubi-tubi dapat menginspirasi orang melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan. Televisi dan media massa harus membantu memberi bahan tontonan dan bacaan yang mendidikkan budaya yang baik. Karena menonton televisi dan membaca koran sudah menjadi tradisi yang kuat di negeri ini. Sehingga tontonan menjadi tuntunan, bukan tuntunan sekedar menjadi tontonan.
Ketika penggusuran gubuk liar yang memilukan ditampilkan dalam bentuk tangisan yang memilukan seorang anak atau orang tua yang dipadukan dengan tindakan aparat yang menyeret para gelandangan akan bermakna lain bagi pemirsa bila yang ditampilkan adalah para preman bertato yang melawan tindakan petugas pamong praja. Ironi itu nampak bila yang disorot adalah tangisan bayi/orang tua dibandingkan dengan tato di lengan atau di punggung. Peristiwanya adalah penggusuran gubuk liar, tetapi simbol yang digunakan berbeda. Tangisan sebagai simbol kelemahan, ketidak berdayaan dan putus asa. Tato sering dikonotasikan secara salah sebagai simbol preman dan tindakan pemalakan. Televisi sangat mempengaruhi opini publik dalam menyorot berbagai peristiwa.

2.2 Faktor Penyebab Munculnya Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia

Berbagai kekerasan antar kelompok yang bergolak secara sporadis seputar persoalan Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) banyak terjadi dan terus bermunculan di negeri ini. Dari Sabang sampai Merauke terjadi berbagai peristiwa berdarah. Di Aceh terjadi pergolakan yang bernuansa separatis dan ingin memerdekakan diri melalui Gerakan Aceh Merdeka. Untunglah masalah ini bisa diselesaikan dengan damai, namun masalah ini belum tuntas. Penyelesaian damai ini menyisakan masalah yang masing harus dituntaskan dengan arif. Peristiwa di atas hanyalah beberapa peristiwayang terbuka dan menimbulkan korban nyata, belum lagi peristiwa lain yang masih mengancam negeri ini.

Faktor-faktor yang melatar belakangi semua pertikaian di tanah air itu disebabkan antara lain:
1. kuatnya prasangka, etnosentrisme, stereotip dan diskriminatif antara kelompok.
2. merosotnya rasa kebersamaan dan persatuan serta saling pengertian.
3. aktivitas politis identitas kelompok/daerah di dalam era reformasi.
4. tekanan sosial ekonomi
Dari semua faktor di atas, semuanya bertitik tolak dari kenyataan yang tak bisa ditolak,  bahwa negara-bangsa (nation-state) Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Semua kondisi itu memang indah dan menjadi kekayaan budaya, tetapi kondisi itu rentan terhadap adanya perpecahan.
Realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya.
Lebih dari tiga dasawarsa, kebijakan yang sentralistis dalam bentuk “mementingkan kepentingan nasional” yang terimplementasi berupa pengamanan yang ketat terhadap isu “kedaerahan” telah mengabaikan kemampuan masyarakat mengatasi masalah tersebut secara terbuka, rasional, beradab dan damai. Sementara itu pemberian kewenangan yang terlalu besar pada daerah tanpa kesadaran kebangsaan dan kesadaran multikultural sering menimbulkan berbagai gejolak di tanah air ini.

2.3 Cara Mengatasi Problema Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pendidikan multikultural merupakan suatu tuntutan pedagogis (pendidikan)  dalam rangka studi kultural yang melihat proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. Multikultural adalah gagasan yang lahir dari fakta tentang perbedaan antar warga masyarakat. Pengalaman hidup yang berbeda menumbuhkan kesadaran dan tata nilai berbeda, yang kadang tampil berlatar belakang etnis berbeda. Adanya perbedaan itulah yang sering memicu konflik karena memandang diri lebih benar, baik, dan berkembang. Pada ranah pendidikan adanya perbedaan tersebut dapat menimbulkan adanya suatu gesekan yang menjadi problema dalam proses belajar mengajar.

Dalam konteks pendidikan, bahwa semua persoalan dalam masyarakat akan dapat diperbaiki melalui proses pendidikan. Artinya kegagalan masyarakat adalah kegagalan pendidikan dan sebaliknya. Dengan demikian, dalam mengatasi segala problematika masyarakat sebaiknya dimulai dari penataan secara sistemik dan metodologis dalam pendidikan. Salah satu komponen dalam pembelajaran adalah proses belajar mengajar (pembelajaran). Untuk memperbaiki realitas masyarakat tersebut, perlu dimulai dari proses pembelajaran. Multikultural bisa dibentuk melalui proses pembelajaran, yaitu dengan menggunakan pembelajaran berbasis multikultural. Pendidikan multikultural merupakan proses pembelajaran yang lebih mengarah pada upaya menghargai perbedaan diantara sesama manusia sehingga terwujud ketenangan dan ketentraman tatanan kehidupan masyarakat.
Pendidikan multikultural ditengarai menjadi alat pengakomodasi yang efektif, salah satu contohnya dalam menghadapi problema masalah perbedaan etnik atau budaya pada proses pembelajaran. Pada realitas pendidikan multikultural,siswa dihadapkan pada konsep-konsep yang berbeda. Konsep-konsep tersebut diantaranya konsep hidup sukses, sistem keyakinan, mengajak siswa masuk kedalam semangat budaya lain, melihat dunia dengan cara yang dilakukan orang lain dan menghargai segala kekuatan dan keterbatasannya. Pendidikan multikultural juga mengolah kemampuan yang lebih halus melalui moral dan budi pekerti, kerelaan untuk melihat diri sendiri dari sudut pandang orang lain, dan kerelaan untuk mendengar orang lain dengan simpati dan sensitif.
Pendidikan multikultural hendaknya mampu menanamkan kesadaran diri siswa bahwa mereka anggota komunitas etnik dan kultural, warga dari komunitas politik, dan juga bagian dari manusia secara umum. Selain itu, sistem pendidikan multikultural dapat membantu siswa memahami sejarah, struktur sosial, budaya, bahasa, dan agama dalam komunitas kultural dan politik agar mereka dapat memahami diri sendiri secara lebih baik dan menemukan jalan di sekitar komunitas tersebut (Parekh dalam Ruminiati, 2011:7).


BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

A.    Simpulan
Pendidikan multikultural adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian didalam dan diluar sekolah yang mempelajari tentang berbagai macam status sosial,ras,suku,agama agar tercipta kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman budaya.
Problema yang ada di masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut: Keragaman Identitas Budaya Daerah, Kurang Kokohnya Nasionalisme, Kesejahteraan Ekonomi yang Tidak Merata di antara Kelompok Budaya ,Fanatisme Sempit , Konflik Kesatuan Nasional dan Multikultural.

B.     Saran
1. Dalam mengatasi segala problematika masyarakat sebaiknya dimulai dari penataan secara sistemik dan metodologis dalam pendidikan.
2. Untuk memperbaiki realitas masyarakat tersebut, perlu dimulai dari proses pembelajaran. Multikultural bisa dibentuk melalui proses pembelajaran, yaitu dengan menggunakan pembelajaran berbasis multikultural.
  
DAFTAR PUSTAKA


Sarydamy.(2013).pendidikanmultikultural.Tersedia:http://sarydamy.blogspot.com/2013/02/makalah-pendidikan-multikultural.html

Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Nasional : Jakarta.

0 komentar:

Next Prev
▲Top▲