Makalah Multikultural Bab Teori Pendidikan Multikultural

| Kamis, 06 Februari 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Para pakar memiliki visi yang berbeda dalam memandang multikultural. Mereka memiliki tekanan yang beragam dalam memahami fenomena multikultural. Ada yang tetap mempertahankan adanya dominasi kelompok tertentu hingga yang benar-benar menekankan pada multikultural. Pada Bab ini kita akan mengenali berbagai teori Pendidikan Multikultural yang dikemukakan oleh para ahli. Pengenalan sudut pandang para pakar teori Pendidikan Multikultural ini akan sangat membantu kita lebih mengenali pelaksanaannya di lapangan.

B.          Rumusan Masalah
1.      Bagaimana teori pendidikan multikultural menurut Horace Kallen?
2.      Bagaimana teori pendidikan multikultural menurut James A. Banks?
3.      Bagaimana teori pendidikan multikultural menurut Bill Martin?
4.      Bagaimana teori pendidikan multikultural menurut Martin J. Beck Matustik?
5.      Bagaimana teori pendidikan multikultural menurut Judith M. Green?

C.          Tujuan
1.      Untuk mengetahui teori pendidikan multikultural menurut Horace Kallen.
2.      Untuk mengetahui teori pendidikan multikultural menurut James A. Banks.
3.      Untuk mengetahui teori pendidikan multikultural menurut Bill Martin.
4.      Untuk mengetahui teori pendidikan multikultural menurut Martin J. Beck Matustik.
5.      Untuk mengetahui teori pendidikan multikultural menurut Judith M. Green.

BAB II
PEMBAHASAN

A.          Horace Kallen

Jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain; budaya itu dapat disebut pluralisme budaya (cultural pluralism). Teori pluralisme budaya ini dikembangkan oleh Horace Kallen. Ia menggambarkan pluralisme budaya itu dengan definisi operasional sebagai menghargai berbagai tingkat perbedaaan, tetapi masih dalam batas-batas menjaga persatuan nasional. Kallen mencoba mengekspresikan bahwa masing-masing kelompok etnis dan budaya di Amerika Serikat itu penting dan masing masing berkontribusi unik menambah variasi dan kekayaan budaya

B.          James A. Banks
James A. Banks dikenal sebagai perintis Pendidikan Multikultur. Jadi penekanan dan perhatiannya difokuskan pada pendidikannya. Banks yakin bahwa sebagian dari pendidikan lebih mengarah pada mengajari bagaimana berpikir daripada apa yang dipikirkan. Ia menjelaskan bahwa siswa harus diajarkan untuk memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan konstruksi pengetahuan (knowledge construction) dan interpretasi yang berbeda-beda. Siswa yang baik adalah siswa yang selalu mempelajari semua pengetahuan dan turut serta secara aktif dalam membicarakan konstruksi pengetahuan. Dia juga perlu disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang dia terima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang sangat ditentukan oleh kepentingan masing-masing. Bahkan interpretasi itu nampak bertentangan sesuai dengan sudut pandangnya. Siswa seharusnya diajari juga dalam menginterpretasikan sejarah masa lalu dan dalam pembentukan sejarah (interpretations of the history of the past and history in the making) sesuai dengan sudut pandang mereka sendiri. Mereka perlu diajari bahwa mereka sebenarnya memiliki interpretasi sendiri tentang peristiwa masa lalu yang mungkin penafsiran itu berbeda dan bertentangan dengan penafsiran orang lain. Misalnya, mengapa sampai terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825 – 1830. Salah satu sebab kemunculannya adalah pembangunan jalan yang melintasi makam di daerah Tegal rejo, Yogyakarta yang secara kultural sangat dihormati oleh masyarakat sekitar pada waktu itu. Dari sudut pandang Belanda tindakan Diponegoro itu dianggap sebagai pemberontakan dan sudut pandang penguasa waktu itu dianggap sebagai upaya perebutan kekuasaan dari seorang putera selir yang dalam kultur Jawa kedudukannya tidak setinggi putera permaisuri. Namun sudut pandang apa pun yang digunakan sebagai motif yang melatar belakanginya perang Diponegoro, namun sebagai sebuah bangsa dan komitmen kita sebagai putera bangsa, kita memandang perjuangan Pangeran Diponegoro itu sebagai perjuangan seorang putra daerah yang ingin memerdekakan diri dari penjajahan bangsa asing. Siswa harus belajar mengidentifikasi posisinya sendiri sebagai putera bangsa yang sedang dijajah, kepentingannya yang ingin memerdekakan diri, asumsi dan filsafat idealnya. Dengan demikian dia akan mengetahui bagaimana sejarah itu terjadi dan menjadikan hal yang terjadi itu sebagai sejarah. Singkatnya, mereka harus menjadi pemikir kritis (critical thinkers) dengan selalu menambah pengetahuan dan ketrampilan, disertai komitmen yang tinggi. Semuanya itu diperlukan untuk berpartisipasi dalam tindakan demokratis. Dengan landasan ini, mereka dapat membantu bangsa ini mengakhiri kesenjangan antara ideal dan realitas (Banks,1993).
Di dalam The Canon Debate, Knowledge Construction, and Multicultural Education, Banks mengidentifikasi tiga kelompok cendekiawan yang berbeda dalam menyoroti keberadaan kelompok - kelompok budaya di Amerika Serikat : 
Pertama adalah traditionalis Barat. Traditionalis barat, seperti halnya dengan kelompok pluralisme budaya dari Horace Kallen, meyakini bahwa budaya yang dominan dari peradaban barat yaitu kelompok White, Anglo Saxon dan Protestan perlu dipresentasikan secara menonjol di sekolah. Kelompok ini beranggapan bahwa mereka berada dalam posisi terancam dan berbahaya karena mengenyampingkan kelompok Feminis, Minoritas dan Revormasi Multikultural yang lain Namun, tidak seperti kelompok Pluralisme Budaya Horace Kallen, budaya tradisionalis barat masih sedikit memberi perhatian pada pengajaran keanekaragaman multikultur. Kelompok kedua yaitu mereka yang menolak kebudayaan Barat secara berlebihan, yaitu kelompok Afrosentris. Kelompok ini beranggapan bahwa pengabaian kelompok lain itu memang benar terjadi dan kelompok ini berpendapat bahwa sejarah dan budaya orang Afrika lah yang seharusnya menjadi sentral dari kurikulum agar semua siswa dapat mempelajari peranan Afrika dalam perkembangan peradaban Barat. Afrosentris juga meyakini bahwa sejarah dan budaya orang Afrika seharusnya menjadi sentral dalam kurikulum untuk memotivasi siswa Afrika-Amerika dalam belajar. Kelompok ketiga, Multikulturalis yang percaya bahwa pendidikan seharusnya direformasi untuk lebih memberi perhatian pada pengalaman orang kulit berwarna dan wanita. Kelompok ini sekarang sedang berkembang dan sedang memperjuangkan posisinya ditengah dominasi kelompok yang sudah mapan.
Kita sebagai bangsa Indonesia boleh berbangga karena bangsa kita pernah dipimpin oleh seorang presiden wanita. Sementara negara Super Power seperti Amerika Serikat yang memproklamasikan dirinya sebagai negara paling demokratis ini masih mempertanyakan posisi wanita dalam kancah pertarungan politik di tingkat tertinggi, presiden wanita di Amerika Serikat.
C.          Bill Martin
Dalam tulisannya yang berjudul Multiculturalism: Consumerist or Transformational, Bill Martin menulis, bahwa keseluruhan isu tentang multikulturalisme memunculkan pertanyaan tentang "perbedaan" yang nampak sudah dilakukan berbagai teori filsafat atau teori sosial. Sebagai agenda sosial dan politik, jika multikulturalisme lebih dari sekedar tempat bernaung berbagai kelompok yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi 'pertemuan' dari berbagai kelompok itu yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal (Martin, 1998: 128).
Seperti halnya Banks, Martin menentang tekanan dari Afrosentris dan tradisionalis barat. Martin menyebut Afrosentris dan tradisional barat itu sebagai “Consumerist Multikulturalism”. Selanjutnya, Martin mengusulkan sesuatu yang baru. Multikulturalisme bukan “Konsumeris” tetapi “Transformational” yang memerlukan kerangka kerja. Martin mengatakan bahwa disamping isu tentang kelas sosial, ras, etnis dan pandangan lain yang berbeda, diperlukan komunikasi tentang berbagai segi pandangan yang berbeda. Masyarakat harus memiliki visi kolektif tipe baru dari perubahan sosial menuju kulturalisme yaitu visi yang muncul lewat transformasi.
Martin memandang perlu adanya perubahan yang mendasar diantara kelompok-kelompok budaya itu sampai diketemukan adanya visi baru yang dimiliki dan dikembangkan bersama. Untuk mencapai tujuan itu sangatlah dibutuhkan adanya komunikasi antar berbagai segi pandang yang berbeda.
D.          Martin J. Beck Matustik
Martin J. Beck Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang masyarakat multikultural di masyarakat Barat berkaitan dengan norma/tatanan. Matustík mengatakan "Semua segi dalam pembicaraan budaya saat ini mengarah pada pemikiran kembali norma Barat (the western canon) yang mengakui bahwa dunia multikultural adalah benar-benar nyata adanya " (Matustík, 1998). Dalam artikelnya, "Ludic, Corporate and Imperial Multiculturalism: Impostors of Democracy and Cartographers of the New World Order," Matustik menulis, "perang budaya, politik dan ekonomi menyerang pada segi yang mana, bagaimana dan lewat siapa sejarah multikultural dijelaskan."
Matustík mengatakan bahwa teori multikulturalisme meliputi berbagai hal yang semuanya mengarah kembali ke liberalisasi pendidikan dan politik Plato, filsuf Yunani. Sebuah karya Plato yang berjudul Republik, bukan hanya memberi norma politik dan akademis klasik bagi pemimpin dari negara ideal yang dia cita-citakan, namun juga menjadi petunjuk dalam pembahasan bersama tentang pendidikani bagi yang tertindas (Matustík, 1998). Ia yakin bahwa kita harus menciptakan pencerahan multikultural baru (a new multicultural enlightenment) yaitu "multikulturalisme lokal yang saling berkaitan, secara global sebagai lawan dari monokultur nasional" (Matustík, 1998).
E.          Judith M. Green
Green menunjukkan bahwa multikulturalisme bukan hanya unik di A.S. Negara lain pun harus mengakomodasi berbagai kelompok kecil dari budaya yang berbeda. Kelompok-kelompok ini biasanya bertoleransi terhadap keuntungan budaya dominan. Secara unik, Amerika memberi tempat perlindungan dan memungkinkan mereka mempengaruhi kebudayaan yang ada. Dengan team, kelompok memperoleh kekuatan dan kekuasaan, membawa perubahan seperti peningkatan upah dan keamanan kerja. Wanita dan minoritas (Hispanis, Afrika dan Amerika Asli) harus memperoleh kesempatan ekonomi yang lebih baik, partisipasi politis yang lebih efektif, representasi media yang lebih disukai, dan sebagainya. Namun akhir abad 20 telah membawa orang Amerika pada suatu tempat "memerangi kebuntuan yang memerlukan pemikiran kembaliyang baru dan lebih dalam tentang tujuan dan materi pendidikan dalam suatu masyarakat yang masih terus diharapkan dan dicita-citakan yang dibimbing oleh ide demokrasi" (Green, 1998). Bangsa ini selalu memandang pendidikan sebagai cara perubahan yang efektif, baik secara personal maupun sosial. Sehingga lewat pendidikan Amerika meraih kesuksesan terbesar dalam transformasi. Beberapa kelompok tidak bisa melihat bahwa kita sekarang adalah apa yang selalu ada. Yaitu, Amerika yang sejak kelahirannya, selalu memiliki masyarakat multikultural di mana berbagai budaya telah bersatu lewat perjuangan, interaksi, dan kerjasama (Green, 1998).

BAB III
PENUTUP
A.           Simpulan
Dari beberapa pendapat dari para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Horace Kallen adalah perintis teori multikultur.Budaya disebut pluralisme budaya (cultural pluralism) jika budaya suatu bangsa memiliki banyak segi dan nilai-nilai. Pluralisme budaya didefinisikan oleh Horace Kallen sebagai "menghargai berbagai tingkat perbedaaan dalam batas-batas persatuan nasional”. Sebagai budaya yang dominan, White Anglo-Saxon Protestan harus diakui masyarakat, sedangkan budaya yang lain itu dipandang menambah variasi dan kekayaan budaya Amerika.
2. James A. Banks dikenal sebagai perintis Pendidikan Multikultural. Banks yakin bahwa pendidikan seharusnya lebih mengarah pada mengajari mereka bagaimana berpikir daripada apa yang dipikirkan. Siswa perlu disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang dia terima itu terdapat beraneka ragam interpretasi sesuai kepentingan masing-masing. Siswa perlu diajari dalam menginterpretasikan sejarah masa lalu dan dalam pembuatan sejarah. Siswa harus berpikir kritis dengan memberi pengetahuan dan ketrampilan yang memadai dan memiliki komitmen yang tinggi untuk berpartisipasi dalam tindakan demokratis. Ada tiga kelompok budaya di Amerika : a) tradisionalis Barat, b) kelompok Afrosentris, c) kelompok multikulturalis.
3. Bill Martin menulis, bahwa isu menyeluruh tentang multikulturalisme bukan sekedar tempat bernaung berbagai kelompok budaya, namun harus membawa pengaruh radikal bagi semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal. Seperti halnya Banks, Martin menentang tekanan dari Afrosentris dan tradisionalis Barat. Martin menyebut keduanya"consumerist multiculturalism". Multikulturalisme bukan "consumerist" tetapi "transformational", yang memerlukan kerangka kerja. Masyarakat harus memilikivisi kolektif tipe baru yang berasal dari perubahan sosial yang muncul lewat transformasi.
4. Martin J. Beck Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang multikultural di masyarakat Barat berkaitan dengan norma/tatanan. Pembahasan multikultural berada pada pemikiran kembali norma Barat (the western canon) yang mengakui adanya multikultural.Teori multikulturalisme berasal dari liberalisasi pendidikan dan politik Plato. Republik, karya Plato, bukan hanya memberi norma politik dan akademis klasik bagi pemimpin dari negara ideal, namun juga menjadi petunjuk tentang pendidikan bagi yang tertindas. Matustik yakin bahwa kita harus menciptakan pencerahan multikultural baru yaitu "multikulturalisme lokal yang saling bergantung secara global sebagai lawan dari monokultur nasional".
5. Judith M.Green menunjukkan bahwa multikulturalisme bukan hanya di AS. Kelompok budaya kecil harus mengakomodasi dan memiliki toleransi dengan budaya dominan. Amerika memberi tempat perlindungan dan memungkinkan kelompok kecil itu mempengaruhi kebudayaan yang ada. Secara bersama-sama, kelompok tersebut memperoleh kekuatan dan kekuasaan untuk membawa perubahan dan peningkatan dalam ekonomi, partisipasi politis dan media massa. Untuk itu diperlukan pendidikan dan lewat pendidikanlah Amerika meraih kesuksesan terbesar dalam transformasi dan sejak kelahirannya Amerika selalu memiliki masyarakat multikultural yang telah bersatu lewat perjuangan, interaksi, dan kerjasama.
B.            Saran
Dengan mempelajari berbagai macam teori Pendidikan Multikultural diharapkan kita dapat memahami keberagaman.


0 komentar:

Next Prev
▲Top▲