BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Para pakar memiliki
visi yang berbeda dalam memandang multikultural. Mereka memiliki tekanan
yang beragam dalam memahami fenomena multikultural. Ada yang tetap
mempertahankan adanya dominasi kelompok tertentu hingga yang benar-benar
menekankan pada multikultural. Pada Bab ini kita akan mengenali berbagai teori
Pendidikan Multikultural yang dikemukakan oleh para ahli. Pengenalan sudut
pandang para pakar teori Pendidikan Multikultural ini akan sangat membantu kita
lebih mengenali pelaksanaannya di lapangan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana teori pendidikan multikultural menurut Horace Kallen?
2.
Bagaimana teori pendidikan multikultural menurut James A. Banks?
3.
Bagaimana teori pendidikan multikultural menurut Bill Martin?
4.
Bagaimana teori pendidikan multikultural menurut Martin J. Beck Matustik?
5.
Bagaimana teori pendidikan multikultural menurut Judith M. Green?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui teori pendidikan multikultural menurut Horace Kallen.
2.
Untuk mengetahui teori pendidikan multikultural menurut James A. Banks.
3.
Untuk mengetahui teori pendidikan multikultural menurut Bill Martin.
4.
Untuk mengetahui teori pendidikan multikultural menurut Martin J. Beck Matustik.
5.
Untuk mengetahui teori pendidikan multikultural menurut Judith M. Green.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Horace Kallen
Jika
budaya suatu bangsa memiliki banyak segi, nilai-nilai dan lain-lain; budaya itu
dapat disebut pluralisme budaya (cultural pluralism). Teori pluralisme budaya ini dikembangkan oleh Horace
Kallen. Ia menggambarkan pluralisme budaya itu dengan definisi operasional
sebagai menghargai berbagai tingkat perbedaaan, tetapi masih dalam batas-batas
menjaga persatuan nasional. Kallen mencoba
mengekspresikan bahwa masing-masing kelompok etnis dan budaya di Amerika
Serikat itu penting dan masing masing berkontribusi unik menambah variasi dan
kekayaan budaya
B.
James A. Banks
James A. Banks
dikenal sebagai perintis Pendidikan Multikultur. Jadi
penekanan dan perhatiannya difokuskan pada pendidikannya. Banks yakin bahwa
sebagian dari pendidikan lebih mengarah pada mengajari bagaimana
berpikir daripada apa yang dipikirkan. Ia menjelaskan bahwa siswa
harus diajarkan untuk memahami semua jenis pengetahuan, aktif mendiskusikan
konstruksi pengetahuan (knowledge construction) dan interpretasi yang
berbeda-beda. Siswa yang baik adalah siswa yang selalu mempelajari semua
pengetahuan dan turut serta secara aktif dalam membicarakan konstruksi
pengetahuan. Dia juga perlu disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang dia
terima itu terdapat beraneka ragam interpretasi yang sangat ditentukan oleh
kepentingan masing-masing. Bahkan interpretasi itu nampak bertentangan sesuai
dengan sudut pandangnya. Siswa seharusnya diajari juga dalam menginterpretasikan
sejarah masa lalu dan dalam pembentukan sejarah (interpretations of the history
of the past and history in the making) sesuai dengan sudut pandang mereka
sendiri. Mereka perlu diajari bahwa mereka sebenarnya memiliki interpretasi
sendiri tentang peristiwa masa lalu yang mungkin penafsiran itu berbeda dan
bertentangan dengan penafsiran orang lain. Misalnya, mengapa sampai terjadi
perang Diponegoro pada tahun 1825 – 1830. Salah satu sebab kemunculannya adalah
pembangunan jalan yang melintasi makam di daerah Tegal rejo, Yogyakarta yang
secara kultural sangat dihormati oleh masyarakat sekitar pada waktu itu. Dari
sudut pandang Belanda tindakan Diponegoro itu dianggap sebagai pemberontakan
dan sudut pandang penguasa waktu itu dianggap sebagai upaya perebutan kekuasaan
dari seorang putera selir yang dalam kultur Jawa kedudukannya tidak setinggi
putera permaisuri. Namun sudut pandang apa pun yang digunakan sebagai motif
yang melatar belakanginya perang Diponegoro, namun sebagai sebuah bangsa dan
komitmen kita sebagai putera bangsa, kita memandang perjuangan Pangeran
Diponegoro itu sebagai perjuangan seorang putra daerah yang ingin memerdekakan
diri dari penjajahan bangsa asing. Siswa harus belajar mengidentifikasi
posisinya sendiri sebagai putera bangsa yang sedang dijajah, kepentingannya
yang ingin memerdekakan diri, asumsi dan filsafat idealnya. Dengan demikian dia
akan mengetahui bagaimana sejarah itu terjadi dan menjadikan hal yang terjadi
itu sebagai sejarah. Singkatnya, mereka harus menjadi pemikir kritis (critical
thinkers) dengan selalu menambah pengetahuan dan ketrampilan, disertai komitmen
yang tinggi. Semuanya itu diperlukan untuk berpartisipasi dalam tindakan
demokratis. Dengan landasan ini, mereka dapat membantu bangsa ini mengakhiri
kesenjangan antara ideal dan realitas (Banks,1993).
Di dalam The
Canon Debate, Knowledge Construction, and Multicultural Education, Banks
mengidentifikasi tiga kelompok cendekiawan yang berbeda dalam menyoroti
keberadaan kelompok - kelompok budaya di Amerika Serikat :
Pertama adalah traditionalis Barat. Traditionalis barat, seperti halnya dengan
kelompok pluralisme budaya dari Horace Kallen, meyakini bahwa budaya yang
dominan dari peradaban barat yaitu kelompok White, Anglo Saxon dan Protestan
perlu dipresentasikan secara menonjol di sekolah. Kelompok ini beranggapan
bahwa mereka berada dalam posisi terancam dan berbahaya karena mengenyampingkan
kelompok Feminis, Minoritas dan Revormasi Multikultural yang lain Namun, tidak
seperti kelompok Pluralisme Budaya Horace Kallen, budaya tradisionalis barat
masih sedikit memberi perhatian pada pengajaran keanekaragaman multikultur. Kelompok kedua yaitu mereka yang
menolak kebudayaan Barat secara berlebihan, yaitu kelompok Afrosentris. Kelompok ini beranggapan bahwa pengabaian
kelompok lain itu memang benar terjadi dan kelompok ini berpendapat bahwa
sejarah dan budaya orang Afrika lah yang seharusnya menjadi sentral dari
kurikulum agar semua siswa dapat mempelajari peranan Afrika dalam perkembangan
peradaban Barat. Afrosentris juga meyakini bahwa sejarah dan budaya orang
Afrika seharusnya menjadi sentral dalam kurikulum untuk memotivasi siswa
Afrika-Amerika dalam belajar. Kelompok ketiga, Multikulturalis yang
percaya bahwa pendidikan seharusnya direformasi untuk lebih memberi perhatian
pada pengalaman orang kulit berwarna dan wanita. Kelompok ini sekarang sedang
berkembang dan sedang memperjuangkan posisinya ditengah dominasi kelompok yang
sudah mapan.
Kita sebagai
bangsa Indonesia boleh berbangga karena bangsa kita pernah dipimpin oleh seorang
presiden wanita. Sementara negara Super Power seperti Amerika Serikat yang
memproklamasikan dirinya sebagai negara paling demokratis ini masih
mempertanyakan posisi wanita dalam kancah pertarungan politik di tingkat
tertinggi, presiden wanita di Amerika Serikat.
C.
Bill Martin
Dalam tulisannya yang berjudul Multiculturalism:
Consumerist or Transformational, Bill Martin menulis, bahwa keseluruhan isu
tentang multikulturalisme memunculkan pertanyaan tentang "perbedaan"
yang nampak sudah dilakukan berbagai teori filsafat atau teori sosial. Sebagai
agenda sosial dan politik, jika multikulturalisme lebih dari sekedar tempat
bernaung berbagai kelompok yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi
'pertemuan' dari berbagai kelompok itu yang tujuannya untuk membawa pengaruh
radikal bagi semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal (Martin,
1998: 128).
Seperti halnya Banks, Martin menentang
tekanan dari Afrosentris dan tradisionalis barat. Martin menyebut Afrosentris
dan tradisional barat itu sebagai “Consumerist Multikulturalism”. Selanjutnya, Martin mengusulkan sesuatu yang
baru. Multikulturalisme bukan “Konsumeris” tetapi “Transformational” yang
memerlukan kerangka kerja. Martin mengatakan bahwa disamping isu tentang kelas
sosial, ras, etnis dan pandangan lain yang berbeda, diperlukan komunikasi
tentang berbagai segi pandangan yang berbeda. Masyarakat harus memiliki visi
kolektif tipe baru dari perubahan sosial menuju kulturalisme yaitu visi yang
muncul lewat transformasi.
Martin
memandang perlu adanya perubahan yang mendasar diantara kelompok-kelompok
budaya itu sampai diketemukan adanya visi baru yang dimiliki dan dikembangkan
bersama. Untuk mencapai tujuan itu sangatlah dibutuhkan adanya komunikasi antar
berbagai segi pandang yang berbeda.
D.
Martin J. Beck Matustik
Martin J. Beck
Matustik berpendapat bahwa perdebatan tentang masyarakat multikultural di
masyarakat Barat berkaitan dengan norma/tatanan. Matustík mengatakan
"Semua segi dalam pembicaraan budaya saat ini mengarah pada pemikiran
kembali norma Barat (the western canon) yang mengakui bahwa dunia multikultural
adalah benar-benar nyata adanya " (Matustík, 1998). Dalam
artikelnya, "Ludic, Corporate and Imperial Multiculturalism:
Impostors of Democracy and Cartographers of the New World Order," Matustik
menulis, "perang budaya, politik dan ekonomi menyerang pada segi yang
mana, bagaimana dan lewat siapa sejarah multikultural dijelaskan."
Matustík mengatakan bahwa teori
multikulturalisme meliputi berbagai hal yang semuanya mengarah kembali ke
liberalisasi pendidikan dan politik Plato, filsuf Yunani. Sebuah karya Plato
yang berjudul Republik, bukan hanya memberi norma politik dan
akademis klasik bagi pemimpin dari negara ideal yang dia cita-citakan, namun
juga menjadi petunjuk dalam pembahasan bersama tentang pendidikani bagi
yang tertindas (Matustík, 1998). Ia yakin bahwa kita harus menciptakan
pencerahan multikultural baru (a new multicultural enlightenment) yaitu
"multikulturalisme lokal yang saling berkaitan, secara global sebagai
lawan dari monokultur nasional" (Matustík, 1998).
E.
Judith M. Green
Green menunjukkan bahwa
multikulturalisme bukan hanya unik di A.S. Negara lain pun harus mengakomodasi
berbagai kelompok kecil dari budaya yang berbeda. Kelompok-kelompok ini
biasanya bertoleransi terhadap keuntungan budaya dominan. Secara unik, Amerika memberi
tempat perlindungan dan memungkinkan mereka mempengaruhi kebudayaan yang ada.
Dengan team, kelompok memperoleh kekuatan dan kekuasaan, membawa perubahan
seperti peningkatan upah dan keamanan kerja. Wanita dan minoritas (Hispanis,
Afrika dan Amerika Asli) harus memperoleh kesempatan ekonomi yang lebih baik,
partisipasi politis yang lebih efektif, representasi media yang lebih disukai,
dan sebagainya. Namun akhir abad 20 telah membawa orang Amerika pada suatu
tempat "memerangi kebuntuan yang memerlukan pemikiran kembaliyang baru
dan lebih dalam tentang tujuan dan materi pendidikan dalam suatu
masyarakat yang masih terus diharapkan dan dicita-citakan yang dibimbing oleh
ide demokrasi" (Green, 1998). Bangsa ini selalu memandang pendidikan
sebagai cara perubahan yang efektif, baik secara personal maupun sosial.
Sehingga lewat pendidikan Amerika meraih kesuksesan terbesar dalam
transformasi. Beberapa kelompok tidak bisa melihat bahwa kita sekarang
adalah apa yang selalu ada. Yaitu, Amerika yang sejak kelahirannya, selalu
memiliki masyarakat multikultural di mana berbagai budaya telah bersatu lewat
perjuangan, interaksi, dan kerjasama (Green, 1998).
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari beberapa pendapat dari para ahli di
atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Horace Kallen adalah perintis teori multikultur.Budaya disebut pluralisme budaya (cultural pluralism) jika
budaya suatu bangsa memiliki banyak segi dan nilai-nilai. Pluralisme budaya
didefinisikan oleh Horace Kallen sebagai "menghargai berbagai tingkat perbedaaan
dalam batas-batas persatuan nasional”. Sebagai budaya yang dominan, White
Anglo-Saxon Protestan harus diakui masyarakat, sedangkan budaya yang lain itu
dipandang menambah variasi dan kekayaan budaya Amerika.
2. James A. Banks dikenal sebagai perintis Pendidikan Multikultural.
Banks yakin bahwa pendidikan seharusnya lebih mengarah pada mengajari
mereka bagaimana berpikir daripada apa yang dipikirkan. Siswa perlu
disadarkan bahwa di dalam pengetahuan yang dia terima itu terdapat beraneka
ragam interpretasi sesuai kepentingan masing-masing. Siswa perlu diajari dalam
menginterpretasikan sejarah masa lalu dan dalam pembuatan sejarah. Siswa harus
berpikir kritis dengan memberi pengetahuan dan ketrampilan yang memadai dan
memiliki komitmen yang tinggi untuk berpartisipasi dalam tindakan demokratis.
Ada tiga kelompok budaya di Amerika : a) tradisionalis Barat, b) kelompok
Afrosentris, c) kelompok multikulturalis.
3. Bill Martin menulis, bahwa isu menyeluruh tentang multikulturalisme bukan
sekedar tempat bernaung berbagai kelompok budaya, namun harus membawa pengaruh
radikal bagi semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal. Seperti halnya Banks, Martin menentang tekanan dari
Afrosentris dan tradisionalis Barat. Martin menyebut keduanya"consumerist
multiculturalism". Multikulturalisme bukan "consumerist"
tetapi "transformational", yang memerlukan kerangka
kerja. Masyarakat harus memilikivisi kolektif tipe baru yang berasal dari
perubahan sosial yang muncul lewat transformasi.
4. Martin J. Beck Matustik berpendapat bahwa perdebatan
tentang multikultural di masyarakat Barat berkaitan dengan norma/tatanan.
Pembahasan multikultural berada pada pemikiran kembali norma Barat (the western
canon) yang mengakui adanya multikultural.Teori multikulturalisme berasal
dari liberalisasi pendidikan dan politik Plato. Republik, karya Plato,
bukan hanya memberi norma politik dan akademis klasik bagi pemimpin dari negara
ideal, namun juga menjadi petunjuk tentang pendidikan bagi yang
tertindas. Matustik yakin bahwa kita harus menciptakan pencerahan
multikultural baru yaitu "multikulturalisme lokal yang saling bergantung
secara global sebagai lawan dari monokultur nasional".
5. Judith M.Green menunjukkan bahwa multikulturalisme bukan hanya di AS. Kelompok budaya kecil harus mengakomodasi dan memiliki
toleransi dengan budaya dominan. Amerika memberi tempat perlindungan dan
memungkinkan kelompok kecil itu mempengaruhi kebudayaan yang ada. Secara
bersama-sama, kelompok tersebut memperoleh kekuatan dan kekuasaan untuk membawa
perubahan dan peningkatan dalam ekonomi, partisipasi politis dan media massa.
Untuk itu diperlukan pendidikan dan lewat pendidikanlah Amerika meraih
kesuksesan terbesar dalam transformasi dan sejak kelahirannya Amerika selalu
memiliki masyarakat multikultural yang telah bersatu lewat perjuangan,
interaksi, dan kerjasama.
B.
Saran
Dengan mempelajari berbagai macam teori
Pendidikan Multikultural diharapkan kita dapat memahami keberagaman.
0 komentar:
Posting Komentar