BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa
merupakan sebuah sarana
yang digunakan manusia
untuk berkomunikasi. Sesuai dengan
fungsinya, bahasa memiliki
peran sebagai penyampai pesan
antara manusia satu
dengan lainnya. Menurut
Kridalaksana (1993: 21), bahasa adalah sistem lambang bunyi yang
arbitrer, yang dipergunakan oleh
para anggota suatu
masyarakat untuk bekerja
sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri.
Dalam kehidupan sehari-hari,
manusia pasti menggunakan bahasa
untuk berinteraksi satu
sama lain. Chaer
dan Agustina (2004: 14)
menyatakan bahwa secara
tradisional dapat dikatakan
bahwa fungsi bahasa adalah
alat untuk berinteraksi
atau sebagai alat
komunikasi, dalam arti bahasa
digunakan untuk menyampaikan
informasi, perasaan, gagasan,
ataupun konsep.
Dalam
berinteraksi, diperlukan aturan-aturan
yang mengatur penutur
dan lawan tutur agar nantinya dapat terjalin komunikasi yang baik diantara
keduanya. Aturan-aturan tersebut terlihat
pada prinsip kesantunan
berbahasa yang dikemukakan oleh
Leech (1993: 206).
Leech (melalui Rahardi,
2005: 59-60) membagi prinsip
kesantunan menjadi enam,
yakni maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan,
maksim penghargaan, maksim
kesederhanaan, maksimpermufakatan,
dan maksim simpati.
Dalam
berbahasa, manusia perlu
memperhatikan adanya kesantunan berbahasa ketika berkomunikasi
dengan manusia lainnya. Hal itu bertujuan agar manusia bisa
menggunakan bahasa yang
santun dan tidak
melakukan kesalahan dalam
berbahasa. Sebuah tuturan dikatakan
santun atau tidak, sangat tergantung
pada ukuran kesantunan masyarakat penutur bahasa yang dipakai.
Kesalahan-kesalahan dalam
berbahasa sering terjadi
dalam proses komunikasi dan
interaksi antara manusia satu dengan lainnya. Interaksi itu dapat terjadi pada
forum-forum resmi atau pun tidak resmi. Di sekolah yang merupakan agen pendidikan,
ternyata masih sering
ditemui kesalahan-kesalahan dalam kesantunan berbahasa. Hal itu bisa
dilihat dalam proses belajar mengajar, maupun kegiatan di lingkungan sekolah.
Permasalahan yang ditemukan pada
siswa di sekolah
dalam keterampilan berbicara salah
satunya adalah diskusi.
Kegiatan berdiskusi merupakan
suatu upaya untuk mengungkapkan gagasan, ide, dan pendapat mengenai
suatu masalah yang menjadi topik
diskusi. Dalam kegiatan
pembelajaran yang menggunakan metode diskusi terkadang muncul
penggunaan bahasa-bahasa yang kurang santun pada siswa
dalam mengemukakan pendapatnya.
Oleh sebab itu,
dalam kegiatan pembelajaran
diperlukan materi cara berdiskusi yang santun dan pilihan kata yang tepat
ketika berbicara kepada orang lain.
Berdasarkan hasil wawancara pada guru
bahasa Indonesia kelas XI SMA N 1
Sleman, pada saat
kegiatan diskusi kelas
sering ditemui kesalahan-kesalahan dalam berbahasa
siswa. Di dalam
berkomunikasi umumnya ada
yang memperhatikan aspek kesantunan berbahasa tetapi ada juga yang tidak.
Saat para siswa melakukan kegiatan
berdiskusi dalam proses
pembelajaran di kelas, beberapa di
antaranya ada yang
tidak memperhatikan kesantunan
dalam berbahasa. Dalam berdiskusi,
antara kelompok penyaji
dan penanggap kurang saling
menghargai. Beberapa di
antaranya masih terlihat
kesalahan dalam pemilihan kata
dan cara berdiskusi
yang santun ketika
di dalam kelas.
Tuturan yang dipakai
terkadang berupa sindiran,
ejekan, atau bantahan
yang dapat menyinggung perasaan
orang lain. Oleh
karena itu, melalui
keterampilan berbicara pada mata
pelajaran bahasa Indonesia,
dapat digunakan untuk
melatih kesantunan berbahasa siswa ketika melakukan kegiatan berdiskusi atau berbicara
kepada orang lain.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah prinsip
kesantunan berbahasa?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk mengetahui prinsip
kesantunan berbahasa.
BAB
II
PEMBAHASAN
Kesantunan berbahasa
merupakan salah satu
kajian dari ilmu
pragmatik. Jika seseorang membahas
mengenai kesantunan berbahasa,
berarti pula membicarakan pragmatik.
1. Prinsip
Kesantunan Berbahasa
a. Definisi
Kesantunan
Dalam KBBI
edisi ketiga (1990)
dijelaskan yang dimaksud
dengan kesantunan adalah kehalusan
dan baik (budi
bahasanya, tingkah lakunya). Pendapat lain
diuraikan dalam (http://Muslich.M.blogspot.com) bahwa kesantunan (politiness),
kesopansantunan, atau etiket
adalah tatacara, adat,
atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan
aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat
tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh
perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut
"tatakrama".
Kesantunan bersifat
relatif di dalam
masyarakat. Ujaran tertentu
bisa dikatakan santun di
dalam suatu kelompok
masyarakat tertentu, akan
tetapi di kelompok masyarakat
lain bisa dikatakan
tidak santun. Menurut
Zamzani,dkk. (2010: 2) kesantunan (politeness) merupakan perilaku yang
diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika. Kesantunan merupakan
fenomena kultural, sehingga apa
yang dianggap santun
oleh suatu kultur
mungkin tidak demikian
halnya dengan kultur yang
lain. Tujuan kesantunan,
termasuk kesantunan berbahasa, adalah membuat suasana
berinteraksi menyenangkan, tidak mengancam muka dan efektif.
b. Kesantunan
Berbahasa
Menurut Rahardi
(2005: 35) penelitian
kesantunan mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu
masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat
dengan aneka latar belakang situasi sosial dan budaya yang
mewadahinya. Adapun yang
dikaji di dalam
penelitian kesantunan adalah segi
maksud dan fungsi tuturan. Fraser
(melalui Rahardi, 2005:
38-40) menyebutkan bahwa
sedikitnya terdapat empat pandangan
yang dapat digunakan
untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur.
1) Pandangan
kesantunan yang berkaitan
dengan norma-norma sosial
(the social-norm view). Dalam
pandangan ini, kesantunan
dalam bertutur ditentukan berdasarkan norma-norma
sosial dan kultural
yang ada dan
berlaku di dalam masyarakat bahasa
itu. Santun dalam
bertutur ini disejajarkan
dengan etiket berbahasa (language
etiquette).
2) Pandangan
yang melihat kesantunan
sebagai sebuah maksim
percakapan (conversational
maxim) dan sebagai
sebuah upaya penyelamatan
muka (facesaving). Pandangan kesantunan sebagai maksim
percakapan menganggap prinsip kesantunan (politeness principle) hanyalah sebagai pelengkap prinsip kerja sama
(cooperative principle).
3) Pandangan
ini melihat kesantunan
sebagai tindakan untuk
memenuhi persyaratan
terpenuhinya sebuah kontrak
percakapan (conversational contract). Jadi, bertindak santun itu sejajar
dengan bertutur yang penuh pertimbangan etiket berbahasa.
4) Pandangan
kesantunan yang keempat
berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. Dalam pandangan
ini, kesantunan dipandang sebagai sebuah indeks sosial (social indexing). Indeks sosial yang demikian terdapat dalam
bentuk-bentuk referensi sosial (social
reference), honorific (honorific),
dan gaya bicara
(style of speaking) (Rahardi,
2005: 40).
Menurut Chaer
(2010: 10) secara singkat dan umum ada tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan kita
terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur kita. Ketiga
kaidah itu adalah
(1) formalitas (formality),
(2) ketidaktegasan (hesistancy),
dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Jadi, menurut Chaer
(2010: 11) dengan
singkat bisa dikatakan
bahwa sebuah tuturan disebut santun kalau ia tidak
terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada
lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang.Kesantunan berbahasa tercermin
dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal
atau tatacara berbahasa.
Ketika berkomunikasi, kita
tunduk pada normanorma budaya, tidak hanya sekedar
menyampaikan ide yang kita pikirkan.
Tatacara
berbahasa harus sesuai
dengan unsur-unsur budaya
yang ada dalam
masyarakat tempat hidup dan
dipergunakannya suatu bahasa
dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa
seseorang tidak sesuai
dengan norma-norma budaya,
maka ia akan mendapatkan
nilai negatif, misalnya
dituduh sebagai orang
yang sombong, angkuh, tak
acuh, egois, tidak
beradat, bahkan tidak
berbudaya. Kesantunan berbahasa dapat dilakukan dengan cara pelaku tutur
mematuhi prinsip sopan santun
berbahasa yang berlaku
di masyarakat pemakai
bahasa itu. Jadi, diharapkan
pelaku tutur dalam
bertutur dengan mitra
tuturnya untuk tidak mengabaikan prinsip sopan santun. Hal
ini untuk menjaga hubungan baik dengan mitra tuturnya.
c.
Penggolongan Prinsip Kesantunan Berbahasa
Wijana (1996:
55) mengungkapkan bahwa
sebagai retorika interpersonal, pragmatik membutuhkan
prinsip kesopanan (politeness
principle). Prinsip kesopanan ini
berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan
orang lain (other).
Diri sendiri adalah
penutur, dan orang
lain adalah lawan tutur, dan orang ketiga yang
dibicarakan penutur dan lawan tutur. Senada dengan hal di atas, menurut Rahardi
(2005: 60-66) dalam bertindak tutur yang santun, agar pesan dapat disampaikan
dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan
prinsip-prinsip kesantunan berbahasa. Prinsip kesantunan berbahasa yang
dikemukakan oleh Leech (1993: 206-207), yakni sebagai berikut.
1) Maksim Kebijaksanaan
Rahardi (2005:
60) mengungkapkan gagasan
dasar dalam maksim kebijaksanaan dalam
prinsip kesantunan adalah
bahwa para peserta
pertuturan hendaknya
berpegang pada prinsip
untuk selalu mengurangi
keuntungan dirinya sendiri dan
memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang
berpegang dan melaksanakan
maksim kebijaksanaan akan
dapat dikatakan sebagai orang santun. Wijana (1996: 56) menambahkan bahwa semakin panjang tuturan seseorang
semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan
bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya
lebih sopan dibandingkan
dengan tuturan yang
diutarakan secara langsung.
Dalam maksim
kebijaksanaan ini, Leech
(1993: 206)menggunakan istilah
maksim kearifan.
contoh:
(1) Tuan rumah
: “Silakan makan saja dulu, nak!”
Tadi kami semua
sudah mendahului.”
Tamu : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”
Informasi
Indeksial:
Dituturkan oleh
seorang Ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah
Ibu tersebut. Pada
saat itu, ia
harus berada di
rumah Ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat
deras dan tidak segera reda (Rahardi, 2005: 60).
Dalam tuturan
di atas, tampak
dengan jelas bahwa
apa yang dituturkan
si tuan rumah sungguh
memaksimalkan keuntungan bagi
sang tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu ditemukan dalam
keluarga pada masyarakat tutur desa. Orang desa biasanya sangat menghargai
tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu
yang sudah direncanakan
terlebih dahulu kedatangannya
(Rahardi, 2005: 60-61).
2) Maksim Kedermawanan
Menurut Leech (1993: 209) maksud dari maksim kedermawanan ini adalah
buatlah keuntungan diri
sendiri sekecil mungkin;
buatlah kerugian diri
sendiri sebesar mungkin. Rahardi
(2005: 61) mengatakan
bahwa dengan maksim kedermawanan atau
maksim kemurahan hati,
para peserta pertuturan
diharapkan dapat menghormati orang
lain. Penghormatan terhadap
orang lain akan
terjadi apabila orang dapat
mengurangi keuntungan bagi
dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.
Chaer (2010: 60) menggunakan istilah maksim penerimaan untuk maksim
kedermawanan Leech.
Rahardi (2005:
62) memberikan contoh sebagai berikut.
(2) Anak kos A
: “ Mari saya cucikan baju kotormu!
Pakaianku tidak
banyak, kok, yang kotor.”
Anak kos B : “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan
mencuci juga,
kok!”
Informasi
Indeksial:
Tuturan ini
merupakan cuplikan pembicaraan
antar anak kos
pada sebuah rumah kos
di kota Yogyakarta.
Anak yang satu
berhubungan demikian erat dengan anak yang satunya.Dari tuturan
yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha
memaksimalkan keuntungan pihak
lain dengan cara
menambahkan beban bagi dirinya
sendiri. Orang yang
tidak suka membantu
orang lain, apalagi tidak pernah bekerja bersama dengan
orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan
mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan keseharian hidupnya (Rahardi, 2005:
62).
3) Maksim Penghargaan
Menurut Wijana
(1996: 57) maksim
penghargaan ini diutarakan
dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Nadar (2009: 30) memberikan contoh tuturan
ekspresif yakni mengucapkan
selamat, mengucapkan terima
kasih, memuji, dan mengungkapkan bela
sungkawa. Dalam maksim
ini menuntut setiap
peserta pertuturan untuk memaksimalkan
rasa hormat kepada
orang lain, dan meminimalkan rasa
tidak hormat kepada
orang lain. Rahardi
(2005: 63) menambahkan, dalam
maksim penghargaan dijelaskan
bahwa orang akan
dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan
penghargaan kepada pihak lain.
Dengan maksim ini,
diharapkan agar para
peserta pertuturan tidak saling
mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain.
Dalam maksim ini
Chaer menggunakan istilah lain, yakni maksim kemurahan.
contoh:
(3) Dosen A
: “ Pak, aku tadi sudah memulai kuliah
perdana untuk
kelas Bussines English.”
Dosen B : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa
Inggrismu jelas
sekali dari sini.”
Informasi
Indeksial:
Dituturkan oleh
seorang dosen kepada
temannya yang juga
seorang dosen dalam ruang kerja
dosen pada sebuah perguruan tinggi (Rahardi, 2005: 63).Pemberitahuan yang
disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di
atas, ditanggapi dengan
sangat baik bahkan
disertai pujian atau penghargaan oleh
dosen A. Dengan
demikian, dapat dikatakan
bahwa di dalam pertuturan itu, dosen B berperilaku
santun (Rahardi, 2005: 63).
4) Maksim Kesederhanaan
Rahardi (2005:
63) mengatakan bahwa
di dalam maksim
kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan
dapat bersikap rendah hati dengan
cara mengurangi pujian
terhadap dirinya sendiri.
Dalam masyarakat bahasa dan
budaya Indonesia, kesederhanaan
dan kerendahan hati
banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang.
Wijana (1996: 58) mengatakan maksim kerendahan
hati ini diungkapkan
dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila maksim kemurahan
atau penghargaan berpusat pada orang lain, maksim kerendahan hati berpusat pada
diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan
ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri
sendiri.
contoh:
(4) Sekretaris A
: “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa
dulu, ya!”
Sekretaris
B : “Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho.”
Informasi
Indeksial:
Dituturkan oleh
seorang sekretaris kepada
sekretaris lain yang
masih junior pada saat
mereka bersama-sama bekerja
di ruang kerja
mereka (Rahardi,2005: 64).Dari
tuturan sekretaris B di atas, dapat terlihat bahwa ia bersikap rendah hati dan
mengurangi pujian untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, tuturan tersebut
terasa santun.
5) Maksim Permufakatan
Menurut Rahardi
(2005: 64) dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat
saling membina kecocokan
atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila
terdapat kemufakatan atau
kecocokan antara diri
penutur dan mitra tutur
dalam kegiatan bertutur,
masing-masing dari mereka
akan dapat dikatakan bersikap
santun. Wijana (1996:
59) menggunakan istilah maksim kecocokan dalam maksim permufakatan
ini. Maksim kecocokan ini diungkapkan dengan
kalimat ekspresif dan
asertif. Maksim kecocokan
menggariskan setiap penutur dan
lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan
di antara mereka.
contoh:
(5) Noni
: “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”
Yuyun : “Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.”
Informasi
Indeksial:
Dituturkan oleh
seorang mahasiswa kepada
temannya yang juga
mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruangan kelas
(Rahardi, 2005: 65).Tuturan di atas
terasa santun, karena
Yuyun mampu membina
kecocokan dengan Noni. Dengan memaksimalkan kecocokan di antara mereka
tuturan akan menjadi santun.
6) Maksim Kesimpatian
Leech (1993:
207) mengatakan di dalam maksim ini
diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara
pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang
peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap
antipati terhadap orang lain, apalagi
sampai bersikap sinis
terhadap pihak lain,
akan dianggap sebagai
orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat (Rahardi, 2005:
65). Menurut Wijana (1996: 60),
jika lawan tutur
mendapatkan kesuksesan atau
kebahagiaan, penutur wajib memberikan
ucapan selamat. Bila
lawan tutur mendapatkan kesusahan, atau musibah, penutur
layak turut berduka, atau mengutarakan
ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.
contoh:
(6) Ani :
“Tut, nenekku meninggal.”
Tuti : “Innalillahiwainailaihi rojiun. Ikut
berduka cita.”
Informasi
Indeksial:
Dituturkan oleh
seorang karyawan kepada
karyawan lain yang
sudah berhubungan erat pada
saat mereka berada
di ruang kerja
mereka (Rahardi, 2005: 66).Dari
tuturan di atas, terlihat Tuti menunjukkan rasa simpatinya kepada Ani.
Orang yang mampu
memaksimalkan rasa simpatinya
kepada orang lain
akan dianggap orang yang santun.
d. Ciri
Kesantunan Berbahasa
Kesantunan berbahasa
seseorang, dapat diukur dengan beberapa jenis skala kesantunan. Chaer
(2010: 63) menyatakan
bahwa yang dimaksud
dengan skala kesantunan adalah
peringkat kesantunan, mulai
dari yang tidak
santun sampai dengan yang paling
santun. Rahardi (2005: 66-67) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat tiga
macam skala pengukur
peringkat kesantunan yang
sampai saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan
dalam penelitian kesantunan. Dalam
model kesantunan Leech,
setiap maksimum interpersonal
itu dapat dimanfaatkan untuk
menentukan peringkat kesantunan
sebuah tuturan. Rahardi (2005: 66) menyatakan bahwa skala
kesantunan Leech dibagi menjadi lima.
1) Cost benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk
kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah
tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri
penutur, akan semakin dianggap
santunlah tuturan itu.
Demikian sebaliknya, semakin
tuturan itu menguntungkan diri
penutur akan semakin
dianggap tidak santunlah
tuturan itu (Rahardi, 2005: 67).
2) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak
atau sedikitnya pilihan (options) yang
disampaikan si penutur
kepada si mitra
tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan
itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan
yang banyak dan
leluasa, akan dianggap
semakin santunlah tuturan itu.
Sebaliknya, apabila pertuturan
itu sama sekali
tidak memberikan kemungkinan
memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggaptidak
santun (Rahardi, 2005: 67).
3) Indirectness
scale atau skala
ketidaklangsungan menunjuk kepada
peringkat langsung atau tidak
langsungnya maksud sebuah
tuturan. Semakin tuturan
itu bersifat langsung akan
dianggap semakin tidak
santunlah tuturan itu.
Demikian sebaliknya, semakin tidak
langsung, maksud sebuah
tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu
(Rahardi, 2005: 67).
4) Authority
scale atau skala
keotoritasan menunjuk kepada
hubungan statussosial antara
penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak
peringkat sosial (rank rating) antara
penutur dan dengan mitra tutur, tuturan yang
digunakan akan cenderung
menjadi semakin santun.
Sebaliknya, semakin dekat jarak
peringkat status sosial
di antara keduanya,
akan cenderung berkuranglah peringkat
kesantunan tuturan yang
digunakan dalam bertutur
itu (Rahardi, 2005: 67).
5) Social
distance scale atau
skala jarak sosial
menunjuk kepada peringkat hubungan sosial
antara penutur dan
mitra tutur yang
terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada
kecenderungan bahwa semakin
dekat jarak peringkat
sosial di antara keduanya,
akan menjadi semakin
kurang santunlah tuturan
itu. Demikian sebaliknya, semakin
jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin
santunlah tuturan yang digunakan itu (Rahardi, 2005: 67).
Berdasarkan keenam
maksim kesantunan yang dikemukakan Leech
(1993: 206), Chaer (2010:
56-57) memberikan ciri
kesantunan sebuah tuturan
sebagai berikut.
1)
Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu
untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.
2)
Tuturan yang diutarakan
secara tidak langsung,
lebih santun dibandingkan dengan
tuturan yang diutarakan secara langsung.
3)
Memerintah dengan kalimat
berita atau kalimat
tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat
perintah (imperatif).
Zamzani, dkk.
(2010: 20) merumuskan
beberapa ciri tuturan
yang baik berdasarkan prinsip
kesantunan Leech, yakni sebagai berikut.
1) Tuturan yang menguntungkan orang lain
2) Tuturan yang meminimalkan keuntungan bagi
diri sendiri.
3) Tuturan yang menghormati orang lain
4) Tuturan yang merendahkan hati sendiri
5) Tuturan yang memaksimalkan kecocokan tuturan
dengan orang lain
6) Tuturan yang memaksimalkan rasa simpati pada
orang lain
Dalam sebuah
tuturan juga diperlukan indikator-indikator untuk mengukur kesantunan sebuah
tuturan, khususnya diksi.
Pranowo (2009: 104)
memberikan saran agar tuturan dapat mencerminkan rasa santun, yakni
sebagai berikut.
1)
Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan pada orang lain.
2)
Gunakan kata “maaf”
untuk tuturan yang
diperkirakan akan menyinggung perasaan lain.
3)
Gunakan kata “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang
lain.
4)
Gunakan kata “berkenan”
untuk meminta kesediaan
orang lain melakukan sesuatu.
5)
Gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dihormati.
6)
Gunakan kata “bapak/ibu” untuk menyapa orang ketiga.
Implementasi indikator
kesantunan dalam berkomunikasi
digunakan agar kegiatan berbahasa
dapat mencapai tujuan. Berdasarkan pendapat beberapa ahli, Pranowo (2009:
110) menguraikan hal-hal
yang perlu diperhatikan
agar komunikasi dapat berhasil, yakni sebagai berikut.
1) Perhatikan situasinya.
2) Perhatikan mitra tuturnya.
3) Perhatikan pesan yang disampaikan.
4) Perhatikan tujuan yang hendak dicapai.
5) Perhatikan cara menyampaikan.
6) Perhatikan norma yang berlaku dalam
masyarakat.
7) Perhatikan ragam bahasa yang digunakan.
8) Perhatikan relevansi tuturannya.
9) Jagalah martabat atau perasaan mitra tutur.
10)
Hindari hal-hal yang kurang baik bagi mitra tutur (konfrontasi dengan
mitra tutur).
11) Hindari pujian untuk diri sendiri.
12) Berikan keuntungan pada mitra tutur.
13) Berikan pujian pada mitra tutur.
14) Ungkapkan rasa simpati pada mitra tutur.
15) Ungkapkan hal-hal yang membuat mitra tutur
menjadi senang.
16) Buatlah kesepahaman dengan mitra tutur.
e. Penyebab
Ketidaksantunan
Pranowo (melalui
Chaer, 2010: 69) menyatakan bahwa ada beberapa faktor atau hal yang menyebabkan
sebuah pertuturan itu menjadi tidak santun. Penyebab ketidaksantunan itu antara
lain.
1) Kritik secara langsung dengan kata-kata
kasar
Menurut Chaer
(2010: 70) kritik
kepada lawan tutur
secara langsung dan dengan
menggunakan kata-kata kasar
akan menyebabkan sebuah
pertuturan menjadi tidak santun
atau jauh dari
peringkat kesantunan. Dengan
memberikan kritik secara langsung
dan menggunakan kata-kata
yang kasar tersebut
dapat menyinggung perasaan lawan tutur, sehingga dinilai tidak santun.
contoh:
(7) Pemerintah
memang tidak pecus
mengelola uang. Mereka
bisanya hanya
mengkorupsi uang
rakyat saja.
Tuturan di
atas jelas menyinggung
perasaan lawan tutur.
Kalimat di atas terasa
tidak santun karena
penutur menyatakan kritik
secara langsung dan menggunakan kata-kata yang kasar.
2) Dorongan rasa emosi penutur
Chaer (2010:
70) mengungkapkan, kadang
kala ketika bertutur
dorongan rasa emosi penutur
begitu berlebihan sehingga
ada kesan bahwa
penutur marah kepada lawan
tuturnya. Tuturan yang
diungkapkan dengan rasa
emosi oleh penuturnya akan
dianggap menjadi tuturan yang tidak santun.
contoh:
(8) Apa
buktinya kalau pendapat
anda benar? Jelas-jelas
jawaban anda tidak
masuk akal.
Tuturan di atas
terkesan dilakukan secara emosional dan kemarahan. Pada tuturan tersebut
terkesan bahwa penutur tetap berpegang teguh pada pendapatnya, dan tidak mau
menghargai pendapat orang lain.
3) Protektif terhadap pendapat
Menurut Chaer
(2010: 71), seringkali
ketika bertutur seorang
penutur bersifat protektif terhadap pendapatnya. Hal ini dilakukan agar
tuturan lawan tutur tidak dipercaya oleh
pihak lain. Penutur
ingin memperlihatkan pada
orang lain bahwa pendapatnya benar, sedangkan pendapat mitra
tutur salah. Dengan tuturan seperti itu akan dianggap tidak santun.
contoh:
(9) Silakan kalau tidak percaya. Semua akan
terbukti kalau pendapat saya yang
paling benar.
Tuturan di atas
tidak santun karena penutur menyatakan dialah yang benar; dia memproteksi
kebenaran tuturannya. Kemudian
menyatakan pendapat yang dikemukakan lawan tuturnya salah.
4) Sengaja menuduh lawan tutur
Chaer (2010:
71) menyatakan bahwa
acapkali penutur menyampaikan tuduhan pada mitra tutur dalam tuturannya. Tuturannya
menjadi tidak santun jika penutur terkesan menyampaikan kecurigaannya terhadap
mitra tutur.
contoh:
(10) Hasil
penelitian ini sangat
lengkap dan bagus.
Apakah yakin tidak
ada
manipulasi data?
Tuturan di atas
tidak santun karena penutur menuduh lawan tutur atas dasar kecurigaan belaka
terhadap lawan tutur. Jadi, apa yang dituturkan dan juga cara menuturkannya
dirasa tidak santun.
5) Sengaja memojokkan mitra tutur
Chaer (2010:
72) mengungkapkan bahwa
adakalanya pertuturan menjadi tidak
santun karena penutur
dengan sengaja ingin
memojokkan lawan tutur
dan membuat lawan tutur
tidak berdaya. Dengan
ini, tuturan yang
disampaikan penutur menjadikan lawan tutur tidak dapat melakukan
pembelaan.
contoh:
(11) Katanya
sekolah gratis, tetapi
mengapa siswa masih
diminta membayar
iuran sekolah?
Pada akhirnya masih banyak anak-anak yang putus sekolah.
Tuturan di
atas terkesan sangat
keras karena terlihat
keinginan untuk memojokkan lawan
tutur. Tuturan seperti
itu dinilai tidak
santun, karena menunjukkan bahwa
penutur berbicara kasar, dengan nada mara, dan rasa jengkel.
2. Konteks
Mulyana (2005:
21) menyebutkan bahwa
konteks ialah situasi
atau latar terjadinya suatu
komunikasi. Konteks dapat
dianggap sebagai sebab
dan alasan terjadinya suatu
pembicaraan atau dialog.
Segala sesuatu yang
behubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya,
sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.
Penyimpangan dan
pematuhan prinsip kesantunan
berbahasa merupakan bagian dari
peristiwa tutur. Peristiwa tutur atau peristiwa berbahasa yang terjadi pada kegiatan diskusi kelas
ditentukan oleh beberapa faktor. Menurut Dell Hymes (melalui Chaer
dan Agustina, 2004:
48-49), bahwa suatu
peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang
disingkat menjadi SPEAKING, yakni sebagai berikut.
a. S = Setting and Scene
Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur
berlangsung, sedangkan scene mengacu
para situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan.
b. P = Participants
Participants adalah
pihak-pihak yang terlibat
dalam pertuturan, bisa
pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima
(pesan).
c. E = Ends
Ends menunjuk
pada maksud dan tujuan pertuturan
d. A = Act Sequences
Act Sequences
mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran.
e. K = Key
Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana
suatu pesan disampaikan;
dengan senang
hati, dengan serius,
dengan singkat, dengan
sombong, dengan mengejek, dan
sebagainya.
f. I = Instrumentalities
Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan,
tertulis, melalui telegraf atau telepon.
g. N = Norms of Interaction and Interpretation
Norms of
Interaction and Interpretation mengacu
pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
h. G = Genres
Genre mengacu
pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan
sebagainya.
Imam Syafi’ie
(melalui Mulyana, 2005: 24) menambahkan bahwa, apabila dicermati dengan
benar, konteks terjadinya
suatu percakapan dapat
dipilah menjadi empat macam, yakni sebagai berikut.
a. Konteks
linguistik (linguistic context),
yaitu kalimat-kalimat dalam percakapan.
b. Konteks
epistemis (epistemis context),
adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui
oleh partisipan.
c. Konteks fisik (physical context), meliputi
tempat terjadinya percakapan, objek yang disajikan dalam percakapan, dan
tindakan para partisipan.
d. Konteks
sosial (sosial context),
yaitu relasi sosio-kultural yang melengkapi hubungan antarpelaku atau
partisipan dalam percakapan.
Uraian tentang
konteks terjadinya suatu percakapan (wacana) menunjukkanbahwa konteks
memegang peranan penting
dalam memberi bantuan
untuk menafsirkan suatu wacana.
Kesimpulannya, secara singkat
dapat dikatakan: in language,
context is everything.
Dalam berbahasa (berkomunikasi), konteks adalah segala-galanya (Mulyana, 2005:
24).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam berkomunikasi dengan
orang lain, kesantunan berbahasa
merupakan aspek yang sangat penting untuk membentuk karakter
dan sikap seseorang.
Dari penggunaan bahasa
seseorang dalam bertutur kepada
orang lain, dapat diketahui
karakter dan kepribadian yang dimiliki seseorang tersebut. Dengan adanya muatan pendidikan
karakter yang harus diterapkan oleh guru-guru di sekolah
pada setiap mata
pelajaran, dalam hal ini mata
pelajaran bahasa Indonesia, prinsip
kesantunan berbahasa ini dapat digunakan
sebagaima teripendidikan karakter
yang dapat
diimplikasikan dalam proses pembelajaran.
Pada kegiatan pembelajaran
bahasa
Indonesia, keterampilan
berbicara sangat diperlukan agar proses
komunikasi antara guru
dengan siswa
maupun siswa dengan
siswa dapat terjalin
dengan baik. Dalam
pembelajaran
di sekolah, siswa
diharapkan dapat mengembangkan kemampuan
berbicaranya
di muka
umum atau di depan kelas. Kegiatan
pembelajaran
yang berhubungan
dengan keterampilan berbicara
yakni kegiatan berdiskusi,
bercerita, bertanya kepada
guru, mengungkapkan gagasan, dan menanggapi suatu masalah terkait
dengan pembelajaran.
B.
Saran
Tuturan dalam bahasa Indonesia secara umum sudah
dianggap santun jika penutur
menggunakan kata-kata
yang santun, tuturannya tidak mengandung ejekan
secara langsung, tidak memerintah
secara langsung, serta menghormati
orang lain. Oleh karena
itu, kesantunan berbahasa ini perlu dikaji
guna mengetahui seberapa
banyak kesalahan atau
penyimpangan kesantunan berbahasa pada manusia ketika
berkomunikasi satu sama lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Cangara, Hafied. 2006. Pengantar
Ilmu Komunikasi.
Jakarta:Radjagrafindo Persada
Hoed, Benny H.
2007.“Transparansi dalam
Penerjemahan”.DalamYassir Nasanius (ed.)Pellba 18. Jakarta: Pusat
Kajian Bahasa dan
Budaya Unika Atma Jaya,
Jakarta.
Krida
laksana, Harimurti. 1993.Kamus
Linguistik. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama Samsuri. 1985. Tata
Kalimat
Bahasa Indonesia. Jakarta: Sastra
Hudaya.
Tim penyusun Kamus
Besar Bahasa Indonesia.2007. Kamus Besar
Bahasa
Indonesia.Jakarta: BalaiPustaka.
1 komentar:
salam kunjungan kami semoga kunjungan kami ini berkenan, terimakasih atas artikelnya dan kami sangat berkunjung ke blog anda. Salam Pengobatan Tradisional
Posting Komentar