Makalah tentang Analisis Kesalahan dan Kesantunan Isi

| Sabtu, 31 Mei 2014
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Bahasa  merupakan  sebuah  sarana  yang  digunakan  manusia  untuk berkomunikasi.  Sesuai  dengan  fungsinya,  bahasa  memiliki  peran  sebagai penyampai  pesan  antara  manusia  satu  dengan  lainnya.  Menurut  Kridalaksana (1993: 21), bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh  para  anggota  suatu  masyarakat  untuk  bekerja  sama,  berinteraksi  dan mengidentifikasikan  diri.  Dalam  kehidupan  sehari-hari,  manusia  pasti menggunakan  bahasa  untuk  berinteraksi  satu  sama  lain.  Chaer  dan  Agustina (2004:  14)  menyatakan  bahwa  secara  tradisional  dapat  dikatakan  bahwa  fungsi bahasa  adalah  alat  untuk  berinteraksi  atau  sebagai  alat  komunikasi,  dalam  arti bahasa  digunakan  untuk  menyampaikan  informasi,  perasaan,  gagasan,  ataupun konsep.

Dalam  berinteraksi,  diperlukan  aturan-aturan  yang  mengatur  penutur  dan lawan tutur agar nantinya dapat terjalin komunikasi yang baik diantara keduanya. Aturan-aturan  tersebut  terlihat  pada  prinsip  kesantunan  berbahasa  yang dikemukakan  oleh  Leech  (1993:  206).  Leech  (melalui  Rahardi,  2005:  59-60) membagi  prinsip  kesantunan  menjadi  enam,  yakni  maksim  kebijaksanaan, maksim  kedermawanan,  maksim  penghargaan,  maksim  kesederhanaan,  maksimpermufakatan, dan maksim simpati.
Dalam  berbahasa,  manusia  perlu  memperhatikan  adanya  kesantunan berbahasa ketika berkomunikasi dengan manusia lainnya. Hal itu bertujuan agar manusia  bisa  menggunakan  bahasa  yang  santun  dan  tidak  melakukan  kesalahan dalam berbahasa.  Sebuah tuturan dikatakan santun atau tidak,  sangat tergantung pada ukuran kesantunan masyarakat penutur bahasa yang dipakai.
Kesalahan-kesalahan  dalam  berbahasa  sering  terjadi  dalam  proses komunikasi dan interaksi antara manusia satu dengan lainnya. Interaksi itu dapat terjadi pada forum-forum resmi atau pun tidak resmi. Di sekolah yang merupakan agen  pendidikan,  ternyata  masih  sering  ditemui  kesalahan-kesalahan  dalam kesantunan berbahasa. Hal itu bisa dilihat dalam proses belajar mengajar, maupun kegiatan di lingkungan sekolah.
Permasalahan  yang  ditemukan  pada  siswa  di  sekolah  dalam  keterampilan berbicara  salah  satunya  adalah  diskusi.  Kegiatan  berdiskusi  merupakan  suatu upaya untuk mengungkapkan gagasan, ide, dan pendapat mengenai suatu masalah yang  menjadi  topik  diskusi.  Dalam  kegiatan  pembelajaran  yang  menggunakan metode diskusi terkadang muncul penggunaan bahasa-bahasa yang kurang santun pada  siswa  dalam  mengemukakan  pendapatnya.  Oleh  sebab  itu,  dalam  kegiatan pembelajaran diperlukan materi cara berdiskusi yang santun dan pilihan kata yang tepat ketika berbicara kepada orang lain.
Berdasarkan hasil wawancara pada guru bahasa Indonesia kelas XI SMA N 1  Sleman,  pada  saat  kegiatan  diskusi  kelas  sering  ditemui  kesalahan-kesalahan dalam  berbahasa  siswa.  Di  dalam  berkomunikasi  umumnya  ada  yang memperhatikan aspek kesantunan berbahasa tetapi ada juga yang tidak. Saat para siswa  melakukan  kegiatan  berdiskusi  dalam  proses  pembelajaran  di  kelas, beberapa  di  antaranya  ada  yang  tidak  memperhatikan  kesantunan  dalam berbahasa.  Dalam  berdiskusi,  antara  kelompok  penyaji  dan  penanggap  kurang saling  menghargai.  Beberapa  di  antaranya  masih  terlihat  kesalahan  dalam pemilihan  kata  dan  cara  berdiskusi  yang  santun  ketika  di  dalam  kelas.
Tuturan yang  dipakai  terkadang  berupa  sindiran,  ejekan,  atau  bantahan  yang  dapat menyinggung  perasaan  orang  lain.  Oleh  karena  itu,  melalui  keterampilan berbicara  pada  mata  pelajaran  bahasa  Indonesia,  dapat  digunakan  untuk  melatih kesantunan berbahasa siswa ketika  melakukan kegiatan berdiskusi atau berbicara kepada orang lain.

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah prinsip kesantunan berbahasa?

C.  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui prinsip kesantunan berbahasa.



BAB II
PEMBAHASAN

Kesantunan  berbahasa  merupakan  salah  satu  kajian  dari  ilmu  pragmatik. Jika  seseorang  membahas  mengenai  kesantunan  berbahasa,  berarti  pula membicarakan  pragmatik. 
1.  Prinsip Kesantunan Berbahasa
a.  Definisi Kesantunan
Dalam  KBBI  edisi  ketiga  (1990)  dijelaskan  yang  dimaksud  dengan kesantunan  adalah  kehalusan  dan  baik  (budi  bahasanya,  tingkah  lakunya). Pendapat  lain  diuraikan  dalam  (http://Muslich.M.blogspot.com)  bahwa kesantunan  (politiness),  kesopansantunan,  atau  etiket  adalah  tatacara,  adat,  atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama".
Kesantunan  bersifat  relatif  di  dalam  masyarakat.  Ujaran  tertentu  bisa dikatakan  santun  di  dalam  suatu  kelompok  masyarakat  tertentu,  akan  tetapi  di kelompok  masyarakat  lain  bisa  dikatakan  tidak  santun.  Menurut  Zamzani,dkk. (2010: 2) kesantunan (politeness) merupakan perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika. Kesantunan merupakan fenomena kultural, sehingga apa  yang  dianggap  santun  oleh  suatu  kultur  mungkin  tidak  demikian  halnya dengan  kultur  yang  lain.  Tujuan  kesantunan,  termasuk  kesantunan  berbahasa, adalah membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak mengancam muka dan efektif.
b.  Kesantunan Berbahasa
Menurut  Rahardi  (2005:  35)  penelitian  kesantunan  mengkaji  penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar belakang situasi sosial dan budaya  yang  mewadahinya.  Adapun  yang  dikaji  di  dalam  penelitian  kesantunan adalah segi maksud dan fungsi tuturan. Fraser  (melalui  Rahardi,  2005:  38-40)  menyebutkan  bahwa  sedikitnya terdapat  empat  pandangan  yang  dapat  digunakan  untuk  mengkaji  masalah kesantunan dalam bertutur.
1)  Pandangan  kesantunan  yang  berkaitan  dengan  norma-norma  sosial  (the social-norm  view).  Dalam  pandangan  ini,  kesantunan  dalam  bertutur  ditentukan berdasarkan   norma-norma  sosial  dan  kultural  yang  ada  dan  berlaku  di  dalam masyarakat  bahasa  itu.  Santun  dalam  bertutur  ini  disejajarkan  dengan  etiket berbahasa (language etiquette).
2)  Pandangan  yang  melihat  kesantunan  sebagai  sebuah  maksim  percakapan (conversational  maxim)  dan  sebagai  sebuah  upaya  penyelamatan  muka  (facesaving).  Pandangan kesantunan sebagai maksim percakapan menganggap prinsip kesantunan (politeness principle)  hanyalah sebagai pelengkap prinsip kerja sama (cooperative principle).
3)  Pandangan  ini  melihat  kesantunan  sebagai  tindakan  untuk  memenuhi persyaratan  terpenuhinya  sebuah  kontrak  percakapan  (conversational  contract). Jadi, bertindak santun itu sejajar dengan bertutur yang penuh pertimbangan etiket berbahasa.
4)  Pandangan  kesantunan  yang  keempat  berkaitan  dengan  penelitian sosiolinguistik. Dalam pandangan ini, kesantunan dipandang sebagai sebuah indeks sosial  (social indexing).  Indeks sosial yang demikian terdapat dalam bentuk-bentuk referensi  sosial  (social  reference),  honorific  (honorific),  dan  gaya  bicara  (style  of speaking) (Rahardi, 2005: 40).
Menurut Chaer (2010: 10) secara singkat dan umum ada tiga kaidah  yang harus dipatuhi agar tuturan kita terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur kita.  Ketiga  kaidah  itu  adalah  (1)  formalitas  (formality),  (2)  ketidaktegasan (hesistancy), dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Jadi, menurut  Chaer  (2010:  11)  dengan  singkat  bisa  dikatakan  bahwa  sebuah  tuturan disebut santun kalau ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang.Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal  atau  tatacara  berbahasa.  Ketika  berkomunikasi,  kita  tunduk  pada  normanorma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan.
Tatacara berbahasa  harus  sesuai  dengan  unsur-unsur  budaya  yang  ada  dalam  masyarakat tempat  hidup  dan  dipergunakannya  suatu  bahasa  dalam  berkomunikasi.  Apabila tatacara  berbahasa  seseorang  tidak  sesuai  dengan  norma-norma  budaya,  maka  ia akan  mendapatkan  nilai  negatif,  misalnya  dituduh  sebagai  orang  yang  sombong, angkuh,  tak  acuh,  egois,  tidak  beradat,  bahkan  tidak  berbudaya. Kesantunan berbahasa dapat dilakukan dengan cara pelaku tutur mematuhi prinsip  sopan  santun  berbahasa  yang  berlaku  di  masyarakat  pemakai  bahasa  itu. Jadi,  diharapkan  pelaku  tutur  dalam  bertutur  dengan  mitra  tuturnya  untuk  tidak mengabaikan prinsip sopan santun. Hal ini untuk menjaga hubungan baik dengan mitra tuturnya.
c.  Penggolongan Prinsip Kesantunan Berbahasa
Wijana  (1996:  55)  mengungkapkan  bahwa  sebagai  retorika  interpersonal, pragmatik  membutuhkan  prinsip  kesopanan  (politeness  principle).  Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri  (self) dan  orang  lain  (other).  Diri  sendiri  adalah  penutur,  dan  orang  lain  adalah  lawan tutur, dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Senada dengan hal di atas, menurut Rahardi (2005: 60-66) dalam bertindak tutur yang santun, agar pesan dapat disampaikan dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip kesantunan berbahasa. Prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech (1993: 206-207), yakni sebagai berikut.
1)  Maksim Kebijaksanaan
Rahardi  (2005:  60)  mengungkapkan  gagasan  dasar  dalam  maksim kebijaksanaan  dalam  prinsip  kesantunan  adalah  bahwa  para  peserta  pertuturan hendaknya  berpegang  pada  prinsip  untuk  selalu  mengurangi  keuntungan  dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur  yang  berpegang  dan  melaksanakan  maksim  kebijaksanaan  akan  dapat dikatakan sebagai orang santun. Wijana (1996: 56) menambahkan  bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung  lazimnya  lebih  sopan  dibandingkan  dengan  tuturan  yang  diutarakan secara  langsung. 
Dalam  maksim  kebijaksanaan  ini,  Leech  (1993:  206)menggunakan istilah maksim kearifan.
contoh:
(1)  Tuan rumah   : “Silakan makan saja dulu, nak!”
Tadi kami semua sudah mendahului.”
Tamu     : “Wah, saya jadi tidak enak, Bu.”

Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang Ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di  rumah  Ibu  tersebut.  Pada  saat  itu,  ia  harus  berada  di  rumah  Ibu  tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda (Rahardi, 2005: 60).
Dalam  tuturan  di  atas,  tampak  dengan  jelas  bahwa  apa  yang  dituturkan  si tuan  rumah  sungguh  memaksimalkan  keuntungan  bagi  sang  tamu.  Lazimnya, tuturan semacam itu ditemukan dalam keluarga pada masyarakat tutur desa. Orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun  tamu  yang  sudah  direncanakan  terlebih  dahulu  kedatangannya  (Rahardi, 2005: 60-61).
2)  Maksim Kedermawanan
Menurut  Leech (1993: 209)  maksud dari maksim kedermawanan ini adalah buatlah  keuntungan  diri  sendiri  sekecil  mungkin;  buatlah  kerugian  diri  sendiri sebesar  mungkin.  Rahardi  (2005:  61)  mengatakan  bahwa  dengan  maksim kedermawanan  atau  maksim  kemurahan  hati,  para  peserta  pertuturan  diharapkan dapat  menghormati  orang  lain.  Penghormatan  terhadap  orang  lain  akan  terjadi apabila  orang  dapat  mengurangi  keuntungan  bagi  dirinya  sendiri  dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Chaer (2010: 60) menggunakan istilah maksim penerimaan untuk maksim kedermawanan Leech.
Rahardi (2005: 62) memberikan contoh sebagai berikut.
(2)  Anak kos A   : “ Mari saya cucikan baju kotormu!
Pakaianku tidak banyak, kok, yang kotor.”
Anak kos B   : “Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan
mencuci juga, kok!”

Informasi Indeksial:
Tuturan  ini  merupakan  cuplikan  pembicaraan  antar  anak  kos  pada  sebuah rumah  kos  di  kota  Yogyakarta.  Anak  yang  satu  berhubungan  demikian  erat dengan anak yang satunya.Dari tuturan yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia  berusaha  memaksimalkan  keuntungan  pihak  lain  dengan  cara  menambahkan beban  bagi  dirinya  sendiri.  Orang  yang  tidak  suka  membantu  orang  lain,  apalagi tidak pernah bekerja bersama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan keseharian hidupnya (Rahardi, 2005: 62).
3)  Maksim Penghargaan
Menurut  Wijana  (1996:  57)  maksim  penghargaan  ini  diutarakan  dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif.  Nadar (2009: 30) memberikan contoh tuturan ekspresif  yakni  mengucapkan  selamat,  mengucapkan  terima  kasih,  memuji,  dan mengungkapkan  bela  sungkawa.  Dalam  maksim  ini  menuntut  setiap  peserta pertuturan  untuk  memaksimalkan  rasa  hormat  kepada  orang  lain,  dan meminimalkan  rasa  tidak  hormat  kepada  orang  lain.  Rahardi  (2005:  63) menambahkan,  dalam  maksim  penghargaan  dijelaskan  bahwa  orang  akan  dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada  pihak  lain.  Dengan  maksim  ini,  diharapkan  agar  para  peserta  pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain.
Dalam maksim ini Chaer menggunakan istilah lain, yakni maksim kemurahan.
contoh:
(3)  Dosen A   : “ Pak, aku tadi sudah memulai kuliah
perdana untuk kelas Bussines English.”
Dosen B  : “Oya, tadi aku mendengar Bahasa
Inggrismu jelas sekali dari sini.”

Informasi Indeksial:
Dituturkan  oleh  seorang  dosen  kepada  temannya  yang  juga  seorang  dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi (Rahardi, 2005: 63).Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh  di  atas,  ditanggapi  dengan  sangat  baik  bahkan  disertai  pujian  atau penghargaan  oleh  dosen  A.  Dengan  demikian,  dapat  dikatakan  bahwa  di  dalam pertuturan itu, dosen B berperilaku santun (Rahardi, 2005: 63).
4)  Maksim Kesederhanaan
Rahardi  (2005:  63)  mengatakan  bahwa  di  dalam  maksim  kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan  cara  mengurangi  pujian  terhadap  dirinya  sendiri.  Dalam  masyarakat bahasa  dan  budaya  Indonesia,  kesederhanaan  dan  kerendahan  hati  banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Wijana (1996: 58) mengatakan  maksim  kerendahan  hati  ini  diungkapkan  dengan  kalimat  ekspresif dan asertif. Bila maksim kemurahan atau penghargaan berpusat pada orang lain, maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri.
contoh:
(4)  Sekretaris A  : “Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa
dulu, ya!”
Sekretaris B  : “Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho.”

Informasi Indeksial:
Dituturkan  oleh  seorang  sekretaris  kepada  sekretaris  lain  yang  masih  junior pada  saat  mereka  bersama-sama  bekerja  di  ruang  kerja  mereka  (Rahardi,2005: 64).Dari tuturan sekretaris B di atas, dapat terlihat bahwa ia bersikap rendah hati dan mengurangi pujian untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, tuturan tersebut terasa santun.
5)  Maksim Permufakatan
Menurut Rahardi (2005: 64) dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur  dapat  saling  membina  kecocokan  atau  kemufakatan  di  dalam  kegiatan bertutur.  Apabila  terdapat  kemufakatan  atau  kecocokan  antara  diri  penutur  dan mitra  tutur  dalam  kegiatan  bertutur,  masing-masing  dari  mereka  akan  dapat dikatakan  bersikap  santun.  Wijana  (1996:  59)  menggunakan  istilah  maksim kecocokan dalam maksim permufakatan ini. Maksim kecocokan ini diungkapkan dengan  kalimat  ekspresif  dan  asertif.  Maksim  kecocokan  menggariskan  setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
contoh:
(5)  Noni   : “Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!”
Yuyun   : “Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.”

Informasi Indeksial:
Dituturkan  oleh  seorang  mahasiswa  kepada  temannya  yang  juga  mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruangan kelas (Rahardi, 2005: 65).Tuturan  di  atas  terasa  santun,  karena  Yuyun  mampu  membina  kecocokan dengan Noni. Dengan memaksimalkan kecocokan di antara mereka tuturan akan menjadi santun.
6)  Maksim Kesimpatian
Leech (1993: 207)  mengatakan di dalam maksim ini diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi  sampai  bersikap  sinis  terhadap  pihak  lain,  akan  dianggap  sebagai  orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat (Rahardi, 2005: 65). Menurut Wijana  (1996:  60),  jika  lawan  tutur  mendapatkan  kesuksesan  atau  kebahagiaan, penutur  wajib  memberikan  ucapan  selamat.  Bila  lawan  tutur  mendapatkan kesusahan, atau musibah, penutur layak turut berduka, atau  mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.
contoh:
(6)  Ani   : “Tut, nenekku meninggal.”
Tuti  : “Innalillahiwainailaihi rojiun. Ikut berduka cita.”

Informasi Indeksial:
Dituturkan  oleh  seorang  karyawan  kepada  karyawan  lain  yang  sudah berhubungan  erat  pada  saat  mereka  berada  di  ruang  kerja  mereka  (Rahardi, 2005: 66).Dari tuturan di atas, terlihat Tuti menunjukkan rasa simpatinya kepada Ani. Orang  yang  mampu  memaksimalkan  rasa  simpatinya  kepada  orang  lain  akan dianggap orang yang santun.
d.  Ciri Kesantunan Berbahasa
Kesantunan berbahasa seseorang, dapat diukur dengan beberapa jenis skala kesantunan.  Chaer  (2010:  63)  menyatakan  bahwa  yang  dimaksud  dengan  skala kesantunan  adalah  peringkat  kesantunan,  mulai  dari  yang  tidak  santun  sampai dengan yang paling santun. Rahardi (2005: 66-67) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat  tiga  macam  skala  pengukur  peringkat  kesantunan  yang  sampai  saat  ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan. Dalam  model  kesantunan  Leech,  setiap  maksimum  interpersonal  itu  dapat dimanfaatkan  untuk  menentukan  peringkat  kesantunan  sebuah  tuturan.  Rahardi (2005: 66) menyatakan bahwa skala kesantunan Leech dibagi menjadi lima.
1)  Cost benefit scale  atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap  santunlah  tuturan  itu.  Demikian  sebaliknya,  semakin  tuturan  itu menguntungkan  diri  penutur  akan  semakin  dianggap  tidak  santunlah  tuturan  itu (Rahardi, 2005: 67).
2)  Optionality scale  atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan  (options)  yang  disampaikan  si  penutur  kepada  si  mitra  tutur  di  dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan  pilihan  yang  banyak  dan  leluasa,  akan  dianggap  semakin  santunlah tuturan  itu.  Sebaliknya,  apabila  pertuturan  itu  sama  sekali  tidak  memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggaptidak santun (Rahardi, 2005: 67).
3)  Indirectness  scale  atau  skala  ketidaklangsungan  menunjuk  kepada  peringkat langsung  atau  tidak  langsungnya  maksud  sebuah  tuturan.  Semakin  tuturan  itu bersifat  langsung  akan  dianggap  semakin  tidak  santunlah  tuturan  itu.  Demikian sebaliknya,  semakin  tidak  langsung,  maksud  sebuah  tuturan,  akan  dianggap semakin santunlah tuturan itu (Rahardi, 2005: 67).
4)  Authority  scale  atau  skala  keotoritasan  menunjuk  kepada  hubungan   statussosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating)  antara penutur dan dengan mitra tutur, tuturan yang  digunakan  akan  cenderung  menjadi  semakin  santun.  Sebaliknya,  semakin dekat  jarak  peringkat  status  sosial  di  antara  keduanya,  akan  cenderung berkuranglah  peringkat  kesantunan  tuturan  yang  digunakan  dalam  bertutur  itu (Rahardi, 2005: 67).
5)  Social  distance  scale  atau  skala  jarak  sosial  menunjuk  kepada  peringkat hubungan  sosial  antara  penutur  dan  mitra  tutur  yang  terlibat  dalam  sebuah pertuturan.  Ada  kecenderungan  bahwa  semakin  dekat  jarak  peringkat  sosial  di antara  keduanya,  akan  menjadi  semakin  kurang  santunlah  tuturan  itu.  Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu (Rahardi, 2005: 67).
Berdasarkan keenam maksim kesantunan  yang dikemukakan  Leech  (1993: 206),  Chaer  (2010:  56-57)  memberikan  ciri  kesantunan  sebuah  tuturan  sebagai berikut.
1)  Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.
2)  Tuturan  yang  diutarakan  secara  tidak  langsung,  lebih  santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
3)  Memerintah  dengan  kalimat  berita  atau  kalimat  tanya  dipandang  lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif).
Zamzani,  dkk.  (2010:  20)  merumuskan  beberapa  ciri  tuturan  yang  baik berdasarkan prinsip kesantunan Leech, yakni sebagai berikut.
1)  Tuturan yang menguntungkan orang lain
2)  Tuturan yang meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri.
3)  Tuturan yang menghormati orang lain
4)  Tuturan yang merendahkan hati sendiri
5)  Tuturan yang memaksimalkan kecocokan tuturan dengan orang lain
6)  Tuturan yang memaksimalkan rasa simpati pada orang lain

Dalam sebuah tuturan juga diperlukan indikator-indikator untuk mengukur kesantunan  sebuah  tuturan,  khususnya  diksi.  Pranowo  (2009:  104)  memberikan saran agar tuturan dapat mencerminkan rasa santun, yakni sebagai berikut.
1)  Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan pada orang lain.
2)  Gunakan  kata  “maaf”  untuk  tuturan  yang  diperkirakan  akan  menyinggung perasaan lain.
3)  Gunakan kata “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain.
4)  Gunakan  kata  “berkenan”  untuk  meminta  kesediaan  orang  lain  melakukan sesuatu.
5)  Gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dihormati.
6)  Gunakan kata “bapak/ibu” untuk menyapa orang ketiga.
Implementasi  indikator  kesantunan  dalam  berkomunikasi  digunakan  agar kegiatan berbahasa dapat mencapai tujuan. Berdasarkan pendapat beberapa ahli, Pranowo  (2009:  110)  menguraikan  hal-hal  yang  perlu  diperhatikan  agar komunikasi dapat berhasil, yakni sebagai berikut.
1)  Perhatikan situasinya.
2)  Perhatikan mitra tuturnya.
3)  Perhatikan pesan yang disampaikan.
4)  Perhatikan tujuan yang hendak dicapai.
5)  Perhatikan cara menyampaikan.
6)  Perhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.
7)  Perhatikan ragam bahasa yang digunakan.
8)  Perhatikan relevansi tuturannya.
9)  Jagalah martabat atau perasaan mitra tutur.
10)  Hindari hal-hal yang kurang baik bagi mitra tutur (konfrontasi dengan mitra tutur).
11)  Hindari pujian untuk diri sendiri.
12)  Berikan keuntungan pada mitra tutur.
13)  Berikan pujian pada mitra tutur.
14)  Ungkapkan rasa simpati pada mitra tutur.
15)  Ungkapkan hal-hal yang membuat mitra tutur menjadi senang.
16)  Buatlah kesepahaman dengan mitra tutur.

e.  Penyebab Ketidaksantunan
Pranowo (melalui Chaer, 2010: 69) menyatakan bahwa ada beberapa faktor atau hal yang menyebabkan sebuah pertuturan itu menjadi tidak santun. Penyebab ketidaksantunan itu antara lain.
1)      Kritik secara langsung dengan kata-kata kasar
Menurut  Chaer  (2010:  70)  kritik  kepada  lawan  tutur  secara  langsung  dan dengan  menggunakan  kata-kata  kasar  akan  menyebabkan  sebuah  pertuturan menjadi  tidak  santun  atau  jauh  dari  peringkat  kesantunan.  Dengan  memberikan kritik  secara  langsung  dan  menggunakan  kata-kata  yang  kasar  tersebut  dapat menyinggung perasaan lawan tutur, sehingga dinilai tidak santun.
contoh:
(7)  Pemerintah  memang  tidak  pecus  mengelola  uang.  Mereka  bisanya  hanya
mengkorupsi uang rakyat saja.

Tuturan  di  atas  jelas  menyinggung  perasaan  lawan  tutur.  Kalimat  di  atas terasa  tidak  santun  karena  penutur  menyatakan  kritik  secara  langsung  dan menggunakan kata-kata yang kasar.

2)  Dorongan rasa emosi penutur
Chaer  (2010:  70)  mengungkapkan,  kadang  kala  ketika  bertutur  dorongan rasa  emosi  penutur  begitu  berlebihan  sehingga  ada  kesan  bahwa  penutur  marah kepada  lawan  tuturnya.  Tuturan  yang  diungkapkan  dengan  rasa  emosi  oleh penuturnya akan dianggap menjadi tuturan yang tidak santun.
contoh:
(8)  Apa  buktinya  kalau  pendapat  anda  benar?  Jelas-jelas  jawaban  anda  tidak
masuk akal.

Tuturan di atas terkesan dilakukan secara emosional dan kemarahan. Pada tuturan tersebut terkesan bahwa penutur tetap berpegang teguh pada pendapatnya, dan tidak mau menghargai pendapat orang lain.

3)  Protektif terhadap pendapat
Menurut  Chaer  (2010:  71),  seringkali  ketika  bertutur  seorang  penutur bersifat protektif terhadap pendapatnya. Hal ini dilakukan agar tuturan lawan tutur tidak  dipercaya  oleh  pihak  lain.  Penutur  ingin  memperlihatkan  pada  orang  lain bahwa  pendapatnya benar, sedangkan pendapat mitra tutur salah. Dengan tuturan seperti itu akan dianggap tidak santun.
contoh:
(9)  Silakan kalau tidak percaya. Semua akan terbukti kalau pendapat saya yang
paling benar.

Tuturan di atas tidak santun karena penutur menyatakan dialah yang benar; dia  memproteksi  kebenaran  tuturannya.  Kemudian  menyatakan  pendapat  yang dikemukakan lawan tuturnya salah.

4)  Sengaja menuduh lawan tutur
Chaer  (2010:  71)  menyatakan  bahwa  acapkali  penutur  menyampaikan tuduhan  pada mitra tutur dalam tuturannya. Tuturannya menjadi tidak santun jika penutur terkesan menyampaikan kecurigaannya terhadap mitra tutur.
contoh:
(10)  Hasil  penelitian  ini  sangat  lengkap  dan  bagus.  Apakah  yakin  tidak  ada
manipulasi data?

Tuturan di atas tidak santun karena penutur menuduh lawan tutur atas dasar kecurigaan belaka terhadap lawan tutur. Jadi, apa yang dituturkan dan juga cara menuturkannya dirasa tidak santun.

5)  Sengaja memojokkan mitra tutur
Chaer  (2010:  72)  mengungkapkan  bahwa  adakalanya  pertuturan  menjadi tidak  santun  karena  penutur  dengan  sengaja  ingin  memojokkan  lawan  tutur  dan membuat  lawan  tutur  tidak  berdaya.  Dengan  ini,  tuturan  yang  disampaikan penutur menjadikan lawan tutur tidak dapat melakukan pembelaan.
contoh:
(11)  Katanya  sekolah  gratis,  tetapi  mengapa  siswa  masih  diminta  membayar
iuran sekolah? Pada akhirnya masih banyak anak-anak yang putus sekolah.

Tuturan  di  atas  terkesan  sangat  keras  karena  terlihat  keinginan  untuk memojokkan  lawan  tutur.  Tuturan  seperti  itu  dinilai  tidak  santun,  karena menunjukkan bahwa penutur berbicara kasar, dengan nada mara, dan rasa jengkel.




2.  Konteks
Mulyana  (2005:  21)  menyebutkan  bahwa  konteks  ialah  situasi  atau  latar terjadinya  suatu  komunikasi.  Konteks  dapat  dianggap  sebagai  sebab  dan  alasan terjadinya  suatu  pembicaraan  atau  dialog.  Segala  sesuatu  yang  behubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan  dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu.
Penyimpangan  dan  pematuhan  prinsip  kesantunan  berbahasa  merupakan bagian dari peristiwa tutur. Peristiwa tutur atau peristiwa berbahasa  yang terjadi pada kegiatan diskusi kelas ditentukan oleh beberapa faktor. Menurut Dell Hymes (melalui  Chaer  dan  Agustina,  2004:  48-49),  bahwa  suatu  peristiwa  tutur  harus memenuhi delapan komponen, yang disingkat menjadi SPEAKING, yakni sebagai berikut.
a.  S = Setting and Scene
Setting  berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan  scene mengacu para situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan.
b.  P = Participants
Participants  adalah  pihak-pihak  yang  terlibat  dalam  pertuturan,  bisa  pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan).
c.  E = Ends
Ends menunjuk pada maksud dan tujuan pertuturan
d.  A = Act Sequences
Act Sequences mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran.
e.  K = Key
Key,  mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan;
dengan  senang  hati,  dengan  serius,  dengan  singkat,  dengan  sombong,  dengan mengejek, dan sebagainya.
f.  I = Instrumentalities
Instrumentalities  mengacu pada jalur bahasa  yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon.
g.  N = Norms of Interaction and Interpretation
Norms of Interaction and Interpretation  mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.
h.  G = Genres
Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya.
Imam Syafi’ie (melalui Mulyana, 2005: 24) menambahkan bahwa, apabila dicermati  dengan  benar,  konteks  terjadinya  suatu  percakapan  dapat  dipilah menjadi empat macam, yakni sebagai berikut.
a.  Konteks  linguistik  (linguistic  context),  yaitu  kalimat-kalimat  dalam percakapan.
b.  Konteks  epistemis  (epistemis  context),  adalah  latar  belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan.
c.  Konteks fisik (physical context), meliputi tempat terjadinya percakapan, objek yang disajikan dalam percakapan, dan tindakan para partisipan.
d.  Konteks  sosial  (sosial  context),  yaitu  relasi  sosio-kultural  yang melengkapi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan.
Uraian tentang konteks terjadinya suatu percakapan (wacana) menunjukkanbahwa  konteks  memegang  peranan  penting  dalam  memberi  bantuan  untuk menafsirkan  suatu  wacana.  Kesimpulannya,  secara  singkat  dapat  dikatakan:  in language,  context  is  everything.  Dalam  berbahasa  (berkomunikasi),  konteks adalah segala-galanya (Mulyana, 2005: 24).



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam berkomunikasi dengan orang lain, kesantunan berbahasa merupakan aspek yang sangat penting untuk membentuk karakter dan sikap seseorang. Dari penggunaan bahasa seseorang dalam bertutur kepada orang lain, dapat diketahui karakter dan kepribadian yang dimiliki seseorang tersebut. Dengan adanya muatan pendidikan karakter yang harus diterapkan oleh guru-guru di sekolah pada setiap mata pelajaran, dalam hal ini mata pelajaran bahasa Indonesia, prinsip kesantunan berbahasa ini dapat digunakan sebagaima teripendidikan karakter  yang  dapat diimplikasikan dalam proses pembelajaran. 
Pada kegiatan pembelajaran bahasa  Indonesia,  keterampilan berbicara sangat diperlukan  agar  proses  komunikasi antara  guru  dengan siswa maupun siswa dengan siswa dapat terjalin dengan baik.  Dalam pembelajaran  di  sekolah, siswa diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berbicaranya  di  muka umum atau  di  depan kelas.  Kegiatan pembelajaran  yang  berhubungan dengan keterampilan berbicara yakni kegiatan berdiskusi, bercerita, bertanya kepada guru, mengungkapkan gagasan,  dan menanggapi suatu masalah terkait dengan pembelajaran.
B.     Saran
Tuturan dalam bahasa Indonesia secara umum sudah dianggap santun jika penutur menggunakan kata-kata  yang santun,  tuturannya tidak mengandung ejekan secara langsung, tidak memerintah secara langsung, serta menghormati orang lain. Oleh karena itu, kesantunan berbahasa ini perlu dikaji guna mengetahui seberapa banyak kesalahan atau penyimpangan kesantunan berbahasa pada manusia ketika berkomunikasi satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta:Radjagrafindo Persada
Hoed, Benny H. 2007.“Transparansi dalam Penerjemahan”.DalamYassir Nasanius (ed.)Pellba 18. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya, Jakarta.
Krida laksana, Harimurti. 1993.Kamus Linguistik. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama Samsuri. 1985. Tata Kalimat Bahasa Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya.
Tim penyusun  Kamus Besar Bahasa Indonesia.2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: BalaiPustaka.


1 komentar:

{ Pengobatan Tradisional } at: 31 Mei 2014 pukul 08.57 mengatakan...Reply

salam kunjungan kami semoga kunjungan kami ini berkenan, terimakasih atas artikelnya dan kami sangat berkunjung ke blog anda. Salam Pengobatan Tradisional

Next Prev
▲Top▲