MAKALAH
PRINSIP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SD KELAS 5
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SD Kelas Tinggi
Dosen Pengampu : Bapak Sukardi
Disusun oleh :
1. Nailis
Sa’adah (1401411132)
2. Rini
Susanti (1401411218)
3. Puji
Rokhayanti (1401411222)
4. Agus
Stiawan (1401411304)
5. Ayu
Faridha (1401411390)
6. Umi Hani
Fiarini (1401411497)
7. Nur
Lailatul Azizah (1401411498)
8. Lela Diska (1401411090)
9. Farah Nur
Anina I (140141020)
10. Tri
Wahyuni (1401411
11. Ariqiyati (1401411385)
12. Siti
Musyayati (1401411555)
Rombel 10
PENDIDIKAN
GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan
intelektual, sosial dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang
keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran diharapkan
membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang lain.
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia diarahkan
untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa
Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tertulis serta
menumbuhkan apresiasi terhadap hasil kesastraan Indonesia.
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
sekolah dasar dilaksanakan secara integratif (terpadu). Bentuk keterpaduan
tersebut dapat dapat dilakukan secara intra bidang atau antar bidang studi.
Bentuk keterpaduan ini juga dapat dilakukan melalui pemanduan konsep dalam mata
pelajaran bahasa Indonesia. Semua kegiatan ini diintegrasikan oleh
tema-tema yang bermakna, yang ditentukan bersama-sama oleh guru dan siswa.
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia secara
terpadu sepatutnya dilaksanakan di SD sesuai dengan cara anak memandang dan
menghayati dunianya. Oleh karena itu, pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
ini diharapkan siswa dapat memahami rasional serta konsep-konsep yang terkait
dengan pembelajaran bahasa Indonesia secara terpadu.
Maka
prinsip-prinsip dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ini
diharapkan agar peserta didik dapat berkomunikasi secara efektif dan efisien
sesuai dengan etika yang berlaku, baik lisan maupun tulisan, menghargai dan
bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa Negara,
memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk
berbagai tujuan, dapat menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan
kemampuan intelektual serta kematangan emosional dan sosial,
menikmati dan memanpaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus
budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahsa dan
menghargai juga membanggakan sastra Indonesia sebagai kazanah budaya dan
intelektual manusia Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
saja prinsip pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SD kleas 5?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui prinsip pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SD kleas 5.
BAB II
PEMBAHASAN
Tujuan pembelajaran pada dasarnya
adalah rumusan kualifikasi kemampuan yang harus dicapai oleh siswa setelah
melakukan proses pembelajaran. Sasaran dari tujuan pembelajaran meliputi bidang
kognitif, afektif dan psikomotor. Secara hirarkis tujuan dapat di urutkan dari
mulai yang bersifat umum atau jangka panjang sampai pada tingkat tujuan jangka
panjang sampai dengan yang spesifik.
Pembelajaran merupakan suatu sistem
lingkungan belajar yang terdiri dari unsur dan tujuan, bahan pelajaran,
strategi, alat, siswa dan guru. Semua unsur atau komponen tersebut saling
berkaitan, saling mempengaruhi, dan semuanya berfungsi dengan berorientasi
kepada tujuan. Pembelajaran bahasa Indonesia yang di tata dan di atur
sedemikian rupa dengan di dasarkan pada berbagai aspek yang menyangkut aspek
konsep pembelajaran bahasa Indonesia.
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
dilaksanakan dengan mengacu pada prinsip pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
SD.
Adapun prinsip pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SD kelas 5 adalah:
1. Prinsip Kontekstual
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistic dan
bertujuan membantu siswa kelas untuk
memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan
mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa
memiliki pengetahuan atau keterampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi
sendiri secara aktif pemahamannya.
Contextual Teaching and Learning (CTL) disebut pendekatan kontekstual karena konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota masyarakat.
Sampai saat ini, pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh kelas
yang berfokus pada guru sebagai utama pengetahuan, sehingga ceramah akan
menjadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Sehingga sering
mengabaikan pengetahuan awal siswa. Untuk itu diperlukan suatau pendekatan
belajar yang memberdayakan siswa.
Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL)
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of Education, 2001).
Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam
status apa mereka dan bagaimana mencapainya.
Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna
sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri
sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan
siswa akan berusaha untuk menggapainya. Tugas guru dalam pembelajaran
kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru
lebih berurusan dengan strategi daripada member informasi. Guru hanya mengelola
kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi
siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai Student centered daripada teacher
centered. Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai
berikut:
a.
Mengkaji
konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa .
b.
Memahami
latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara
seksama.
c.
Mempelajari
lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya memilih dan
mengkaitkan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam pembelajaran
kontekstual.
d. Merancang pengajaran dengan mengkaitkan
konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki
siswa dan lingkungan hidup mereka. Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman
siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refeksi terhadap rencana
pemebelajaran dan pelaksanaannya.
Menurut
Blanchard, ciri-ciri kontekstual:
a.
Menekankan
pada pentingnya pemecahan masalah.
b. Kegiatan belajar dilakukan dalam berbagai
konteks
c. Kegiatan belajar dipantau dan diarahkan agar
siswa dapat belajar mandiri.
d. Mendorong siswa untuk belajar dengan temannya
dalam kelompok atau secara mandiri.
e. Pelajaran menekankan pada konteks kehidupan
siswa yang berbeda-beda.
f. Menggunakan penilaian otentik
g.
Bertanya
(Questioning) dalam Pendekatan Kontektual (CTL)
Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL)
memiliki tujuh komponen
utama untuk pembelajaran efektif, yaitu konstruktivisme (constructivism),
menemukan (Inquiry),
bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community),
pemodelan (modelling), refleksi (reflection),
dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assesment).
a) Konstruktivisme (constructivism)
Konstruktivisme
berakar pada filsafat pragmatisme yang digagas oleh John Dewey pada awal abad
20 yang lalu. Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan
bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi
merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara
mental membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuan yang
dimilikinya.
Menurut pengembang
filsafat konstruktivisme Mark Baldawin dan diperdalam oleh Jean Piaget
menganggap bahwa pengetahuan itu terbentuk bukan hanya dari objek semata, tetapi
juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya.
Dalam proses
pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan
aktif dalam proses pembelajaran (Wina
Sanjaya : 2006). Menurut Suparno ( 1997:49 ) secara garis besar prinsip-prinsip
konstruktivisme yang diambil adalah : (a) pengetahuan dibangun oleh siswa
sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (b) pengetahuan tidak
dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan kearifan siswa sendiri untuk
bernalar; (c) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi
perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap serta sesuai dengan
konsep ilmiah; (d) guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar
proses konstruksi siswa berjalan mulus.
b)
Menemukan
(Inquiry)
Menemukan merupakan
bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karena pengetahuan
dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat
seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan
(inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation),
bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis),
pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).
c)
Bertanya
(Questioning)
Pengetahuan yang
dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi
utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk :
1)
menggali
informasi,
2)
menggali
pemahaman siswa,
3)
membangkitkan
respon kepada siswa,
4)
mengetahui
sejauh mana keingintahuan siswa,
5)
mengetahui
hal-hal yang sudah diketahui siswa,
6)
memfokuskan
perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru,
7)
membangkitkan
lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan
siswa.
d)
Masyarakat
Belajar (Learning Community)
Leo Semenovich
Vygotsky, seorang psikolog Rusia, menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman anak
ditopang banyak oleh komunikasi dengan orang lain. Suatu permasalahan tidak
mungkin dapat dipecahkan sendiri, tetapi mebutuhkan bantuan orang lain. Konsep
masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil
kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari „sharing’ antar
teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau. Masyarakat belajar
tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat
dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. Model pembelajaran dengan teknik
” Learning Community ” sangat membantu proses pembelajaran di kelas.
Praktiknya dalam pembelajaran terwujud dalam:
1)
Pembentukan
kelompok kecil
2)
Pembentukan
kelompok besar
3)
Bekerja
dengan kelas sederajat
4)
Bekerja
kelompok dengan kelas di atasnya
5)
Bekerja
dengamn masyarakat
e)
Pemodelan
(Modeling)
Pemodelan pada dasarnya membahasakan
yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk
belajar dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran
kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan
,melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar. Misalnya : Guru memberikan
contoh bagaimana cara mengoperasikan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan
sebuah kalimat asing, guru olah raga memberikan contoh bagaimana cara melempar
bola, guru kesenian memberikan contoh bagaimana cara memainkan alat musik, guru
biologi memberikan contoh bagaimana cara menggunakan termometer, dan lain
sebagainya.
Modeling merupakan
asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui modeling siswa
dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang dapat memungkinkan
terjadinya verbalisme.
f)
Refleksi
(Reflektion)
Refleksi merupakan cara berpikir atau respon
tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang
sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan
waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung
tentang apa yang diperoleh hari itu.
g)
Penilaian
Sebenarnya (Authentic Assesment)
Penilaian nyata (Authentic Assessment ) adalah
proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan
belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini dilakukan untuk mengetahui apakah
siswa benar-benar belajar atau tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki
pengaruh yang positif terhadap perkembangan baik intelektual maupun mental
siswa. Penilaian yang autentik dilakukan secara terintegrasi dengan proses
pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara terus-menerus selama kegiatan
pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu, tekanannya diarahkan kepada proses Belajar
bukan kepada hasil belajar. Terdapat beberapa karakteristik dalam CTL :
1)
Kerjasama
2)
Saling
menunjang
3)
Menyenangkan,
tidak membosankan
4)
Belajar
dengan bergairah
5)
Pembelajaran
terintegrasi
6)
Menggunakan
berbagai sumber
7)
Siswa
aktif
8)
Sharing
dengan teman
9)
Siswa
kritis guru kreatif
10) Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil
kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel,
humor dan lain-lain
11) Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor
tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain.
2.
Prinsip Integratif
Bahasa adalah suatu sistem. Hal ini senada dengan pendapat Maksan
(1994:2) yang mengatakan bahasa adalah suatu sistem. Hal tersebut berarti suatu
keseluruhan kegiatan yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan untuk
mencapai tujuan berbahasa yaitu berkomunikasi. Subsistem bahasa adalah fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantik. Keempat system ini tidak dapat berdiri sendiri.
Artinya, pada saat kita menggunakan
bahasa, tidak hanya menggunakan salah satu unsur tersebut. Sebagai contoh pada saat
pembelajaran berbicara, kita menggunakan kata, kata disusun menjadi kalimat,
kalimat yang kita ucapkan menggunakan
intonasi yang tepat. Dalam kaitan ini secara tidak sadar kita telah memadukan unsur fonologi (lafal, intonasi),
morfologi (kata), sintaksis (kalimat), dan semantik (makna kalimat).
Berdasarkan kenyataan di atas,
maka pembelajaran bahasa Indonesia hendaknya tidak disajikan secara
terpisah-pisah. Pembelajaran bahasa Indonesia hendaknya disajikan secara terpadu atau terintegratif baik antara unsure
fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik ataupun pemaduan antara
keterampilan berbahasa Indonesia. Sebagai contoh dalam pembelajaran
keterampilan membaca, kita dapat sekaligus memadukan keterampilan menulis, dan
keterampilan berbicara. Selain itu, dalam pembelajaran menyimak, kita dapat memadukan
keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, dan keterampilan membaca atau
menulis.
3.
Prinsip Fungsional
Tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan Kurikulum
2004 adalah agar peserta didik dapat menggunakan bahasa Indonesia dalam
berkomunikasi dengan baik dan benar. Hal ini sejalan dengan prinsip
pembalajaran bahasa yang fungsional, yaitu pembelajaran bahasa harus dikaitkan
dengan fungsinya, baik dalam berkumunikasi maupun dalam memenuhi keterampilan
untuk hidup (Purnomo, 2020:10-11).
Prinsip fungsional dalam pembelajaran bahasa pada hakikatnya sejalan
dengan konsep pembelajaran pendekatan komunikatif. Konsep pendekatan
komunikatif mengisyaratkan bahwa guru bukanlah penguasa dalam kelas. Guru
bukanlah satu-satunya pemberi informasi dan sumber belajar. Sebaliknya, guru
harus sebagai penerina informasi (Hairuddin, 2000:136). Jadi, pembelajaran
harus berdasarkan multisumber. Dengan kata lain, sumber belajar terdiri atas
peserta didik, guru, dan lingkungan sekolah. Lebih tegas lagi Tarigan (Hairuddin,
2000:36) mengungkapkan bahwa dalam konsep pendekatan komunikatif peran guru
adalah sebagai pembelajar dalam proses
pembelajaran disamping sebagai pengorganisasi,, pembimbing, dan peneliti.
4.
Prinsip Apresiatif
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1988:46) kata “apresiasi” berarti “penghargaan”.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, istilah apresiatif dimaknai “menyenangkan”.
Jadi, prinsip pembelajaran yang apresiatif
berarti pembelajaran yang menyenangkan. Jika dilihat dari artinya, prinsip apresiatif
ini tidak hanya berlaku untuk pembelajaran sastra, tetapi juga untuk
pembelajaran aspek yang lain seperti keterampilan berbahasa (menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis). Dalam hal ini pembelajaran sastra dapat dipadukan
dalam pembelajaran keempat keterampilan berbahasa tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia dilaksanakan dengan mengacu pada prinsip pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia SD. Ada beberapa prinsip pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SD kelas 5 yaitu,
prinsip
kontekstual, prinsip integratif, prinsip fungsional dan prinsip
apresiatif. Kontekstual bertujuan
membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap
konteks kehidupan mereka sehari-hari, prinsip integratif berarti pembelajaran
bahasa Indonesia hendaknya disajikan secara
terpadu atau terintegratif baik antara unsure fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantik ataupun pemaduan antara keterampilan berbahasa
Indonesia, fungsional berarti pembelajaran bahasa harus dikaitkan dengan
fungsinya, baik dalam berkumunikasi maupun dalam memenuhi keterampilan untuk
hidup, dan apresiatif yang berarti pembelajaran yang menyenangkan.
B.
Saran
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
kelas 5 hendaknya menggunakan prinsip kontekstual, prinsip integrative,
prinsip fungsional dan prinsip apresiatif agar siswa lebih memahami
materi yang disampaikan sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai dengan
optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Hairuddin, dkk. 2007. Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Sudjana
(2005) Dasar Dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung : Sinar Baru
Algesindo
0 komentar:
Posting Komentar